Jakarta, Aktual.com — Kerjasama proyek pembangunan penampungan terminal Gas Alam Cair (LNG) di Bojonegara wilayah perbatasan Banten-Jawa Barat, antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Bumi Sarana Migas (BSM) berpotensi merugikan negara.

Pasalanya, ditengarai banyak klausul-klausul perjanjian yang justru tidak menguntungkan Pertamina, padahal BUMN migas ini sebagai offtaker dan bisa menampung suplai LNG dari BSM nantinya.

Untuk itu, sebelum kerugian keuangan BUMN yang merupakan bagian dari keuangan negara semakin besar, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) bisa segera turun tangan.

“Bila ada unsur potensi kerugian negara, maka KPK harus bergerak cepat, agar kerugian yang akan didapat oleh Pertamina tidak lebih besar lagi,” ingat pengamat hukum sumber daya alam (SDA) dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi kepada Aktual.com, Senin (2/5).

Menurut Redi, permintaan mekibatkan KPK bulan sesuatu yang berlebihan, masih bisa memungkinkan untuk dilibatkan. Meski memang, KPK seringkali bergerak apabila ada kerugian negara yang nyata, bila belum ada kerugian negara yang nyata maka KPK biasanya menunggu sampai ada kerugian negara.

“Namun, sesungguhnya potensi kerugian negara merupakan delik tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor itu. Jadi masih bisa dilakukan oleh KPK,” tandas Redi lagi.

Perlu diketahui, proyek terminal LNG ini dikerjakan oleh Konsorsium BSM yang terdiri dari BSM, Tokyo Gas, Mitsui, dan Pertamina. BSM sendiri adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Bumi Sarana Utama (BSU/Kalla Group).

BSU berdiri sejak 1990 dan merupakan dealer aspal curah Pertamina untuk daerah pemasaran Sulawesi dan Kalimantan. Nantinya, operator terminal LNG Banten-Jawa Barat adalah PT Nusantara Gas Service. Komisaris Utama perusahaan operator itu adalah Solichin Kalla.

BSM adalah perusahaan yang berada dalam naungan Kalla Group, yang saat ini dipimpin oleh Fatimah Kalla (adik Jusuf Kalla). Fatimah menjabat sebagai Direktur Utama BSM, sementara anak JK, yakni Solichin Kalla menjabat sebagai Direktur. Selain itu, Solichin saat ini juga menjabat sebagai Komisaris di PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK).

Penandatanganan kerjasama dengan Pertamina untuk proyek senilai US$500 juta (Rp6,6 triliun dengan kurs saat ini) itu dilakukan oleh Solichin dan Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina, Yenni Andayani disaksikan oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, pada awal April 2016 lalu.

Terkait hal itu, Redi melihat, proses kerja sama tersebut harus dievaluasi oleh pemerintah. Pasalnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu kerja sama harus dilakukan dengan itikad baik, adanya due diligence, independent, dan no conflict interest.

“Ketetlibatan perusahaan Kalla Group memang rentan akan conflict interest dan tdk independen,”cetus Redi.

Selain itu Pertamina yang hanya sebagai offtaker dan termasuk menanggung beban-beban lain dari proyek itu, sangat merugikan Pertamian sendiri.

“Makanya, sekali lagi, harus dilakukan evaluasi kerja sama ini oleh Pemerintah,” tandas dia.

Kerja sama ini memang agak janggal. Selain dilakukan tidak melalui proses tender, dalam arti Pertamina hanya mengikuti proposal yang diajukan BSM ini, pihak Pertamina juga banyak menanggung beban lain.

Seperti kewajiban membangun jaringan pipa gas sepanjang 150 kilometer dari Bojonegara ke konsumen itu ternyata harus ditanggung Pertamina. Juga ketika ada jika ada keterlambatan pasokan gas LNG kepada konsumen, lagi-lagi menjadi tanggungan Pertamina.

Belum lagi bicara komposisi kepemilikan saham dalam konsorsium tersebut, di mana Pertamina hanya menguasai 15% saja.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby