Tulisan raksasa "Kami Butuh Kritik" memenuhi layar LCD di ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusanatara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2), saat Ketua DPR Bambang Soesatyo, menyampaikan pidato pada Rapat Paripurna penutupan masa sidang. Tulisan raksasa ini diklaim sebagai bantahan atas kesan Oligarki DPR dan anti kritik yang akan diciptakan DPR terkait Hak imunitas dalamn Pasal 254 pada UU MD3 yang telah disahkan DPR. AKTUAL/Tino Oktaviano

Yogyakarta, Aktual.com – Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menolak ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang berpotensi menimbulkan malapraktik dalam pelaksanaannya.

“Ketentuan beberapa pasal dalam UU itu dikhawatirkan memutar balik arah demokrasi yang sudah sekian lama diperjuangkan bangsa Indonesia menjadi otoriter, antikritik, dan membungkam kebebasan berekspresi,” kata Rektor UII Nandang Sutrisno di Yogyakarta, Kamis (22/3).

Saat membacakan pernyataan sikap sivitas akademika UII, Nandang mengatakan, ketentuan itu di antaranya mengenai pemanggilan paksa oleh DPR, tindakan untuk mengambil langkah hukum oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

Selain itu, permintaan izin tertulis presiden atas dugaan tindak pidana yang dilakukan anggota DPR, dan pemberian kewenangan DPD untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperda) dan peraturan daerah (perda).

“Ketentuan-ketentuan itu terutama mengenai pemanggilan paksa dan tindakan hukum MKD justru akan mengebiri kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi,” kata Nandang.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid