Jakarta, aktual.com – Beberapa pekan terakhir ini kita sebagai bangsa dikejutkan oleh munculnya empire-empire baru, lengkap dengan raja dan ratunya.
Bahkan di antara mereka ada yang mengklaim sebagai kerajaan yang menguasai dunia sejagat.
Mengapa fenomena ini terjadi? Bukankah kita sebagai bangsa sudah menjadikan demokrasi sebagai pilihan, tapi mengapa mimpi-mimpi monarki itu muncul kembali.
Ada baiknya kita kembali pada masa dimana bangsa ini dibentuk dahulu. Tujuh puluh empat tahun sudah kita bersatu; menjadi satu bangsa baru bernama Indonesia. Walau bangsa baru itu belum sepenuhnya menyatu menjadi bangsa yang solid. Bangsa yang belum sepenuhnya memahami dirinya sebagai satu bangsa yang disusun di atas satuan-satuan budaya dan ideologi yang beraneka rupa.
Aneka rupa itu pula yang kemudian menjadi titik kuat dan sekaligus titik lemahnya bangsa ini.
Bangsa Indonesia dilihat dari sejarah penyatuannya berbeda dengan bangsa sebagaimana pemahaman kita secara sosiologis.
Indonesia dibangun di atas cita-cita tentang bangsa di Asia yang bertekad menyatukan satuan budaya bangsa yang majemuk, kompleks persoalannya serta rumit tata kelolanya.
Sebagai satu kesatuan politik atau negara, Indonesia sering disebut sebagai nations state atau negara bangsa-bangsa.
Orang seperti Benedict Anderson, melihat Indonesia itu justru sebagai komunitas-komunitas imajiner yang nyaris mustahil dipersatukan tanpa kehadiran tokoh pemersatu bangsa sekaliber Soekarno dan Hatta.
Mengapa? Sebagaimana Bung Hatta ingatkan kepada kita semua bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki bentangan wilayah yang sangat luas, terdiri atas wilayah daratan, wilayah lautan dan ruang udara.
Di mata Bung Hatta mengelola wilayah seluas Indonesia itu bukanlah perkara yang mudah.
Oleh karena itu Indonesia membutuhkan pemimpin yang bukan sekadar hebat dan cakap, namun tingkat ketokohannya harus sudah pada level par-excellence.
Mereka bukan pemimpin biasa, apalagi pemimpin kaleng-kaleng. Pemimpin Indonesia haruslah orang yang dengan sengaja mempersiapkan dirinya sejak awal untuk menjadi pemimpin.
Mengapa? Karena Indonesia merupakan negara yang sangat kompleks masalahnya dan tantangan yang akan dihadapinya.
Pemimpin Indonesia haruslah lahir dari seorang yang memiliki tradisi membaca yang baik, sehingga mesin prosesor di kepalanya itu mampu memproses dengan cepat berbagai masalah yang muncul serta dengan cepat pula mencari jalan keluar yang terbaik. Pemimpin Indonesia harus mampu membedakan secara cepat dan jernih, mana masalah dan mana tantangan bangsa yang sesungguhnya.
Seorang pemimpin Indonesia tidak boleh gagap dalam perkara elementer sekaligus prinsipil seperti itu.
Lagi-lagi pertanyaan mengapa mesti kita ajukan ? Sebab Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar, nomor 5 di dunia, bukanlah laboratorium eksperimen bagi kelas pemula seorang pemimpin.
Pemimpin Indonesia bukan penunggang motor biasa, tapi seorang penunggang motor balap yang mahir, lincah sebagaimana aksi motor tong setan.
Indonesia sebagai bangsa memiliki kekayaan khasanah budaya yang luar biasa, ragam adat istiadat, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan hidup yang tumbuh harmoni.
Namun itu semua menyimpan potensi konflik yang laten apabila pemimpin yang hadir bukanlah seorang yang arif bijaksana.
Tentu saja kearifan dan kebijaksanaan itu bisa muncul dan hadir di tengah bangsa, manakala pemimpin itu memiliki tingkat pengetahuan yang memadai. Jika tidak, maka besar kemungkinan pemimpin dengan kelas biasa-biasa saja hanya akan melahirkan bencana.
Profesor Salim Said dalam serangkaian diskusi kami di Institut Peradaban terus menerus mengingatkan kita, bahwa Indonesia masih sedang dalam proses menuju cita-citanya sebagai suatu bangsa.
Sangat bisa jadi, jika cara kita memimpin Bangsa ini kacau, maka umur Indonesia ini tidak sampai 100 tahun. Indonesia bisa menghadapi ancaman bubar sebagai bangsa.
Kegelisahan yang sama juga disampaikan Profesor Deliar Noer. Selaku doktor ilmu politik pertama di Indonesia, Deliar menangkap pesimisme dengan perjalanan bangsa ini. Ia melihat “pesawat” Indonesia yang sedang terbang itu seolah sedang dibajak secara terstruktur oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu menurut Deliar dalam suatu perbincangan khusus dengan penulis, sangat bisa jadi Indonesia terancam pecah menjadi delapan bagian. Jika itu terjadi, sungguh mengerikan nasib bangsa Indonesia ke depan.
Oleh karena itu para pemikir bangsa ini berpesan agar siapa saja yang akan memimpin Indonesia, hendaknya berhati-hati dan tidak boleh ugal-ugalan, karena akan menimbulkan bahaya.
Lepas dari semua kegelisahan Salim Said dan Deliar Noer tentang perjalanan bangsa ini, ada baiknya kita merenungi kembali proses kita berbangsa, saat-saat pertama dimana para bapak bangsa dahulu berfikir mendirikan Indonesia.
Bangsa Indonesia lebih kurang adalah rekaan imajinasi seorang Soekarno dan Hatta, kala itu. Imajinasi itu memang pekerjaan Sukarno. Sukarno bermimpi, Indonesia itu adalah bangsa yang memiliki keunikan tersendiri, karena ia tersusun di atas suku bangsa-suku bangsa.
Namun cita-cita menggelegar Sukarno itu hanya akan menjadi cita-cita kosong jika tanpa pikiran-pikiran jenius dari Bung Hatta.
Hatta itu penyempurna bagi segala rupa mimpi-mimpi Sukarno. Keduanya ibarat Musa dan Harun dalam sejarah umat manusia.
Keduanya tokoh-tokoh pendiri bangsa yang jiwanya bersih dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Mereka rela mempertaruhkan jiwa raganya selama lebih 25 tahun hidup dari penjara ke penjara. Sebagaimana diakui Hatta dalam bukunya, Mohammad Hatta; Politik, Kebangsaan, Ekonomi 1926-1977 (Gramedia, 2015) bahwa ketika opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh.
Bung Hatta meminta kepada opsir Jepang itu agar menyabarkan pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkepala panas itu, supaya mereka jangan sampai terpengaruh oleh propaganda Belanda.
Ancaman pemimpin-pemimpin Kristen itu muncul karena mereka tidak setuju dengan isi Piagam Jakarta yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan panitia sembilan. Jadi ancaman perpecahan itu juga sudah muncul sejak awal-awal bangsa ini merdeka.
Namun dengan kecepatan dan kecerdikan Bung Hatta, beliau gencar melakukan lobi-lobi kepada tokoh-tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo dan Mr Tengku Muhammad Hasan dari Sumatera untuk menggelar rapat.
Akhirnya dengan sikap negarawan para pemimpin Islam itu, mereka rela menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Semula sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta itu berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika orang bilang, Pancasila itu adalah hadiah terindah dari umat Islam demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
Rekaman sejarah ini haruslah disosialisasikan secara luas kepada seluruh anak bangsa, terutama generasi milenial. Hal ini penting karena akhir-akhir ini terdapat propaganda sesat yang mengatakan bahwa umat Islam itu anti-kebhinnekaan dan anti-Pancasila.
Padahal fakta sejarahnya, Pancasila itu adalah hadiah terindah dari Umat Islam demi utuhnya kita sebagai bangsa.
Tudingan itu jelas tidak benar 100 persen. Tudingan itu sejatinya muncul dari aksi propaganda asing yang bermotif jahat demi ambisi busuk mereka.
Mereka biasanya menyelinap di balik isu-isu yang memecah belah kerukunan kita sebagai Bangsa yang majemuk.
Kita sebagai bangsa Indonesia sesungguhnya sudah terbiasa hidup dalam keragaman budaya dan agama dengan baik.
Sikap toleransi dan saling tolong-menolong di antara anak bangsa sejatinya sudah lama tercipta seiring dengan tumbuhnya keinginan seluruh warga bangsa ini untuk bersatu membangun Indonesia.
Kita sebagai bangsa tidak boleh terprovokasi oleh anasir-anasir luar yang akan merusak keutuhan bangsa Indonesia. Kasus Papua misalnya, itu lebih dipengaruhi oleh kekuatan kaum penghasut dari luar Indonesia dengan cara memperalat orang lokal Papua dan aktivis bermental upahan.
Oleh karena itu, ajakan untuk kembali merajut Indonesia yang terkoyak itu harus menjadi perhatian seluruh anak bangsa. Kita mesti terus merawat Indonesia. Anda siap?
*) Fathorrahman Fadli adalah mantan aktivis pers mahasiswa, lulusan S1 IKIP Malang, S2 Pascasarjana Universitas Indonesia bidang politik dan hubungan internasional dan lulusan Magister Manajemen Universitas Pamulang. Kini dosen FE Universitas Pamulang. Aktivitas lainnya di Institut Peradaban bersama Salim Said. Kini penulis menggiatkan kembali lembaga yang telah dirintisnya pada 2002, yakni Indonesia Development Research (IDR) sebagai Direktur Eksekutif.
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto