Jakarta, Aktual.com – Sinyal akan datangnya krisis mulai disuarakan oleh banyak pihak, menyusul terus menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS pada pekan-pekan terakhir, yang diikuti dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok di sejumlah kota besar di Jawa.

Ditambah dengan gejolak ekonomi global yang berdampak pada perekonomian dalam negeri.

Masyarakat dan berbagai kalangan nasional wajar saja bila merasa khawatir, karena Indonesia pernah dihantam krisis ekonomi 1998 yang sangat traumatis dan juga krisis 2008 yang berhasil dilalui walaupun harus dibayar dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi sesaat.

Kendati krisis belum terjadi, namun semua pihak memang harus menyiapkan langkah-langkah bila saat itu tiba. Berbagai kalangan menilai pemerintah sudah seharusnya menjadi penjuru sekaligus pemegang komando untuk menuntun semua pihak mempersiapkan diri.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ekonomi nasional harus lebih efisien untuk bertahan menghadapi krisis ekonomi global akibat penurunan suku bunga AS yang menyebabkan pelaku pasar menyimpan dolar.

“Yang dilakukan pemerintah ialah mengurangi pemakaian dolar. Karena itu, kemarin BI sudah mengatur apabila ada mau pakai dolar harus diatur dengan betul,” ujar Kalla, ditulis Sabtu (29/8).

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk merespons kondisi saat ini.

“Presiden meminta dan merinci satu paket kebijakan besar yang harus selesai minggu depan ini. Menyangkut sektor riil, keuangan, ada yang menyangkut deregulasi, kebijakan baru, ‘tax holiday,” katanya.

Darmin mengatakan paket kebijakan ekonomi yang akan diluncurkan pemerintah itu akan mencakup berbagai hal untuk menjawab permasalahan yang ada saat ini.

“Tujuannya memperlancar kegiatan ekonomi dan mendorong masuknya investasi. Kita perlukan itu sekarang,” kata Darmin.

Ia mengatakan paket kebijakan ekonomi tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah yang ada saat ini.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan penerbitan revisi peraturan mengenai insentif pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan (tax holiday) merupakan awal dari paket kebijakan lanjutan yang akan diterbitkan pemerintah.

“Anggap saja ini pemanasan untuk (penerbitan) paket yang lebih komprehensif,” kata Menkeu di Jakarta, Kamis (27/8).

Menkeu tidak menjelaskan secara detail paket kebijakan ekonomi baru yang akan dirumuskan pemerintah. Namun, ia memastikan paket tersebut akan menjaga daya tahan serta daya beli masyarakat dalam kondisi ekonomi penuh gejolak seperti saat ini.

“Ini bukan hanya bicara insentif fiskal, karena nanti besar efeknya untuk ekonomi kita. Tidak hanya mencakup mendorong ekspor, namun bagaimana menjaga daya tahan dan daya beli masyarakat dalam kondisi yang tidak mudah ini,” ujarnya.

Terkait “tax holiday”, Menkeu mengharapkan insentif tersebut benar-benar memancing minat investor dalam industri pionir, agar Indonesia dapat mendorong industri pengolahan serta menciptakan nilai tambah dari suatu produk.

“Revisi ini untuk mendorong investasi, karena kita tidak bisa berlama-lama bergantung pada ekspor komoditas. Kita harus mulai mengembangkan produk manufaktur, apalagi dari sembilan industri yang masuk ‘tax holiday’, delapan di antaranya merupakan manufaktur,” ujarnya.

Selain itu, Menkeu memastikan revisi peraturan “tax holiday” ini akan bersinergi dengan dua kebijakan lain yang telah diterbitkan pemerintah untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri, di antaranya sektor pertambangan.

“‘Tax holiday’ bukan satu-satunya fasilitas, karena ada ‘tax allowance’, insentif ini yang untuk pembangunan smelter, pengolahan dan pemurnian agar produk kita punya daya saing. Kita juga melakukan harmonisasi tarif bea masuk untuk barang jadi, bukan barang baku,” kata Menkeu.

Krisis memang belum datang, namun tak ada salahnya semua pihak menyiapkan diri dan tidak memandang remeh atau menyederhanakan masalah yang akan kita hadapi, optimis penting namun bukan berarti memandang sebelah mata atau percaya diri berlebihan.

Artikel ini ditulis oleh: