Jakarta, Aktual.co — Dengan lahirnya UU Desa, pemerintah memberikan dukungan penuh atas keberlangsungan adat istiadat atau kearifan lokal.
Bersih Dusun merupakan salah satu kearifan lokal yang masih lestari sampai saat ini. Kearifan lokal yang merupakan warisan baik para leluhur kini menambah khazanah kebudayaan bangsa. Hampir semua warga Indonesia melakukan upacara adat yang dinamakan Bersih Dusun ini. Bersih Dusun memiliki penamaan berbeda-beda tergantung lokasi pelaksanaannya. Di daerah pegunungan sering dinamakan labuhan gunung yang bisa kita lihat di Gunung Merapi. Di daerah pantai sering dinamakan labuhan laut atau sedekah laut. Sedangkan daerah pertanian, dinamakan Merti Dusun atau Rasulan atau Sedekah Bumi atau Bersih Dusun. Setiap penamaan di daerah pertanian ini memiliki makna dan harapan tersendiri. Uraian nanti penulis akan lebih banyak membahas tentang Bersih Dusun di daerah agraris atau pertanian.
Di pedesaanJawa yang bercorak pertanian Bersih Dusun bisa dikatakan sebagai upacara wajib. Sebelum masuknya agama Islam, Bersih Dusun digunakan sebagai sarana untuk memuja Dewi Sri “Dewi Pangan” dan Dewa Sadana “Dewa Sandang”. Selain itu juga digunakan sebagai perhormatan kepada Para Leluhur dan Para Dayang agar tidak marah. Kemarahan mereka mampu mendatangkan pagebluk yang menyengsarakan masyakarat. Sebenarnya penghayatan akan sosok Dewi Sri sebagai Dewi Pangan ini bukan hanya di Jawa melainkan seluruh Asia Tenggara walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Namun di Jawa terkesan lebih unik karena setiap inchi yang dihadirkan itu memiliki makna dan ajaran yang dalam, termasuk sebagai simbolis keselamatan. Khususnya mengenai paham akan adanya keselamatan atau selametan. Hampir setiap sendi kehidupan di Jawa selalu dilakukan selametan, mulai dari bayi lahir sampai setelah orang meninggal dunia.
Masyarakat Jawa merupakan suku yang memiliki nilai budaya adi-luhung warisan para leluhur. Tidak heran jika setiap inchi hasil kebudayaan yang dihadirkan memiliki makna filosofi yang dalam. Jawa lebih suka berkata memakai “pasemon” atau kiasan daripada berkata terbuka dengan harapan takut menyinggung perasaan. Seperti hal nya pelaksanaan Bersih Dusun dalam kebudayaan Jawa. Kata bersih dusun merupakan sarana membersihkan dari segala keburukan dan kejahatan baik yang kasat maupun yang terlihat. Kejahatan tak kasat mata tersebut dikaitkan dengan mitos adanya pagebluk jika tidak melaksanakan Bersih Dusun. Entah kebetulan atau memang benar adanya, selama ini beberapa dukuh yang tidak lagi melakukan bersih dusun dilanda pagebluk, entah berupa wabah penyakit, banyaknya ternak yang mati maupun gagal panen. Sehingga bersih dusun sebagai sarana untuk menolak balak untuk memperoleh keselamatan agar Para Roh tidak marah. Namun setelah masuknya agama Islam telah terjadi pergeseran tujuan dari memuja Dewi Sri, Para Roh dan Para Danyang menjadi bentuk rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan.
Greertz (2013) membagi masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan. Pembagian tersebut layaknya juga mempengaruhi setiap sendiri kehidupan dalam masyarakat Jawa. Para priyayi didominasi oleh Para Raja dan Para Bangsawan kerajaan, Para Santri terdiri oleh Para Kaum Agamawan yang tinggal di Pondok Pesantren maupun Para Pedagang dari Timur Tengah yang selain berdagang juga mensyiarkan agama Islam. Ketiga adalah Kaum Abangan yang merupakan ‘orang kebanyakan’ dan yang terakhir ini banyak ‘dianut’ oleh masyarakat Jawa. Kaum abangan menurut sejarahnya dikaitkan dengan keberadaan seorang penyebar agama Islam yang dianggap menyimpang oleh Para Walisongo, ulama tersebut adalah Syekh Siti Jenar. Kaum Abangan mayoritas beragama Islam tetapi tidak terlalu mementingkan syariat, jarang sholat, jarang puasa Ramadhan dan masih menyakini adanya kekuatan selain Tuhan. Keyakinan ini bukan sekedar percaya namun yakin adanya penunggu, arwah, danyang ataupun pusaka yang mampu mendatangkan keberuntungan. Dengan kata lain masih ada percampuran antara Islam dengan Hindu, Budha dan animisme-dinamisme.
Para Walisongo menyebarkan agama Islam dengan cara damai. Hal itu dibuktikan dengan adanya alkulturasi antara budaya lama dengan budaya baru tanpa mengalahkan salah satunya. Islam tidak serta merta memusuhi ataupun melarang masyarakat Jawa untuk tetap menjalankan adat-istiadatnya melainkan disempurnakan dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Semangat untuk dakwah Para Walisongo adalah “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Penekanannya buka kepada Arabisasi bagi masyarakat Jawa melainkan Islamisasi, sehingga dengan suka cita dan tanpa pemaksaan mereka memeluk agama Islam. Walaupun acara Bersih Dusun masih dipercaya sebagai sarana memuja roh, danyang ataupun ketakutan akan kekuatan mistik namun secara perlahan bergeser menjadi sebuah sarana untuk memanjatkan syukur kepada Tuhan. Oleh karena itu, Bersih Dusun juga sering disebut dengan Rasulan dengan kata lain merupakan sarana dakwah untuk ‘merasulkan’ atau mengajak ke agama Islam.
Bersih Dusun merupakan modal sosial yang berakar dari budaya yang kuat. Di dalam upacara memiliki beberapa nilai positif yang bisa digunakan sebagai sarana memajukan pembangunan. Pembangunan di sini bukan hanya ditafsirkan sebagai pembangunan fisik melainkan pembangunan non fisik. Pergeseran makna bersih dusun dipengaruhi oleh pengaruh agama dan pengaruh tingkat pendidikan. Namun pergeseran tersebut tidak serta-merta menghapus ucapara bersih dusun melainkan hanya sekedar merubah isi atau maknanya. Oleh pemerintah, perubahan makna ini lebih dikemas oleh pemangku kepentingan sebagai modal sosial yang baik. Kearifan lokal yang selama ini terjaga alangkah baiknya jika dikembangkan untuk menyukseskan pembangunan. Hal tersebut disambut baik oleh masyarakat dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan tersebut. Modal sosial ini bisa dilihat dari beberapa nilai baik dari rangkaian pelaksanaan bersih dusun.
Ada beberapa nilai baik yang diajarkan dalam serangkaian pelaksanaan bersih dusun selain sebagai bentuk rasa syukur. Dalam UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 4 tentang tujuan pengaturan desa poin ( c ) menyebutkan untuk melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa. Ini memberikan iklim yang sejuk bagi desa untuk memberikan perhatian lebih untuk keberlangsungan adat lokal. Karena upacara adat memiliki beberapa nilai positif, termasuk Bersih Dusun. Acara ini sebagai sarana memperkuat tali silaturahmi diantara warga. Nusantara atau Indonesia merupakan negara yang memiliki corak kekeluargaan yang tinggi dan ini menjadi nilai lebih dengan negara lain. Di negara ini, selain penduduknya terkenal santun dan memiliki nilai adat istiadat yang tinggi juga memikiki persatuan, kekeluargaan atau terkenal dengan sebutan gotong-royong. Bahkan kata gotong royong ini tersirat dalam Pancasila, Sila keempat. Sedangkan Pencetus Pancasila sekaligus Proklamator dan Presiden RI pertama memeras nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi gotong-royong. Kegotong-royongan yang diajarkan dalam Bersih Dusun dimulai sejak perencanaan dan penganggaran. Awalnya kepala keluarga berkumpul di rumah salah seorang warga untuk membicarakan hari pelaksanaan, tempat pelaksanaan, dalang, alur acara sampai pada perencanaan dalam anggaran. Kemudian secara suka rela masyarakat membantu mendirikan tarub dan keperluan lainnya untuk prosesi Bersih Dusun tanpa mengharapkan imbalan. Setelah itu, sebelum adanya kenduri masyarakat biasa ater-ater atau weweh yakni memberikan hidangan kepada sanak-saudaranya baik dalam satu dukuh maupun yang tinggal di luar dukuh. Pada saat kenduri, seluruh masyarakat berkumpul untuk bersama-sama memanjatkan rasa syukur dan doa kepada Tuhan. Masyarakat berpartisipasi aktif, urun rembug, membantu tenaga dan dana dalam pelaksanaan Bersih Dusun. Miskin, kaya, tua, muda, laki-laki, perempuan bersama-sama menyukseskan acara tersebut tanpa mementingkan ego dan kepentingannya.
Bersih Dusun merupakan event rutin yang bisa dijadikan wisata. Di beberapa tempat, prosesi Bersih Dusun dikemas dengan menarik untuk dijadikan objek wisata tahunan. Wisata ini dimasukkan dalam jajaran wisata budaya dan sekaligus bisa menjadi rangkaian dari adanya wisata pertanian. Ini merupakan salah satu aset desa yang mampu memberikan masukan APBDes. Banyak orang mengira Bersih Dusun hanya sekedar acara rutinan namun jika upacara ini dikelola dengan baik bisa mendatangkan pemasukan bagi desa sekaligus meningkatan ekonomi warga. Strateginya dengan menggandeng pihak-pihak luar, seperti CSR Perusahaan, Perguruan Tinggi dan Media Massa. Acaranya bukan hanya pada satu session inti saja melainkan dibuat beberapa session (serangkaian) dan session inti menjadi puncaknya. Bisa saja event Bersih Dusun juga ditambah dengan pameran produk-produk lokal maupun kesenian lokal. Sehingga pengunjung ke sana tidak hanya disuguhi satu agenda melainkan beberapa pertunjukan. Strategi ini lebih dekat berorientasi dengan tujuan-tujuan ekonomi. Perputaran uang menjadi relatif tinggi, penduduk sekitar menjual makanan, mainan ataupun menyewakan kamar mandi sehingga membantu penghasilan, khususnya kaum perempuan.
Selain untuk mempererat tali persaudaraan, aset budaya dan ekonomi, Bersih Dusun juga bisa dijadikan sebagai pendidikan moral dan penyampaian sejarah. Di beberapa daerah, puncak dari upacara Bersih Dusun biasanya dengan acara pagelaran wayang kulit semalam suntuk, kethoprak, maupun tayub, namun wayang kulit yang lebih dominan dilakukan di berbagai tempat. Wayang yang telah diakui dunia ini menyimpan banyak ajaran moral bagi manusia. Wayang telah lama ada di Nusantara ini bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Budha masuk. Bahkan ada yang mengatakan kalau wayang, khusunya wayang kulit merupakan puncak dari segala kesenian karena memuat beberapa kesenian sekaligus. Lakon atau cerita yang dipentaskan dalam dunia pewayangan tentang realita yang ada di sekitar kita. Kata wayang sendiri berasal dari ‘bayang’ yang menggambarkan kehidupan manusia di dari lahir sampai meningal dunia. Segala keburukan akan dapat dikalahkan oleh kebaikan atau istilahnya ‘Suradira Jayaningrat Lebur dening Pangestuti’. Banyak nilai yang terkandung dalam pagelaran wayang kulit apabila diperhatikan dengan seksama dari simbol-simbol yang ada.
Dalam sejarah, Bersih Dusun digunakan untuk napak tilas tokoh yang pernah berjasa di dukuh tersebut. Ketika belum adanya pengaruh Islam (atau masih kecil pengaruhnya), Bersih Dusun digunakan sebagai sarana untuk memuja roh nenek moyang dan para danyang. Namun ketika Islam masuk, Bersih Dusun tidak dilarang dengan dalih bid’ah ataupun syirik karena akan terjadi terjadi perlawanan dari masyarakat. Oleh Para Walisongo, Bersih Dusun tetap boleh dilaksanakan namun diarahkan untuk memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan dan memohon doa keselamatan. Kenduri yang diadakan sebagai bentuk sedekah yang diberikan oleh masyarakat. Sedangkan pemujaan roh nenek moyang dialihkan dengan ziarah kubur para keluarga, para leluhur maupun para tokoh yang berjasa di dukuh tersebut. Selain memanjatkan rasa syukur dan doa keselamatan, mereka juga mendokan para arwah agar mendapatkan tempat yang baik di sisi NYA. Terkadang di acara itu juga dibacakan sedikit hikayat tentang tokoh maupun asal mula adanya dukuh tersebut agar generasi muda tidak melupakan sejarah.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Bersih Dusun memiliki banyak nilai positif yang layak untuk dilestarikan. Upacara Bersih Dusun saatnya bergeser dari sekedar mitos menjadi sebuah modal sosial bagi desa. Namun sayangnya masih sedikit yang menaruh perhatian untuk menggarap dan mengarahkan dari mitos menjadi modal sosial. Bahkan sekarang keberadaan Bersih Desa mulai termarginalkan dengan adanya pengaruh luar negeri maupun adanya fundamentalis agama. Akhirnya, Bersih Dusun tidak lain hanya mengingatkan kita agar tetap selalu menjaga kebersihan baik jasmani, rohani maupun lingkungan. Begitu juga dengan ‘Merti Dusun’, merti berasal dari kata memetri atau melestarikan sehingga bermakna selalu melestarikan dusun. Melestarikan di sini bermakna luas, baik secara harfiah maupun secara simbolis. Bersih Dusun juga disebut Sedekah Bumi yang menyimpan tujuan agar selalu bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang diberikan dan tidak lupa untuk memberikan sedekah berbagi dengan sesama.
Oleh: Minardi, S.IP
Pemerhati Desa dari Bayat, Klaten
Artikel ini ditulis oleh: