Jakarta, Pasal riba yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perd) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan tersebut teregister dalam nomor perkara 59/PUU-XXIII/2025. Permohonan hak uji materil itu diajukan oleh PT Wijaya Perca, yang diwakili oleh Nurman Diah. Beliau merupakan anak kandung dalam pahlawan nasional, Burhanuddin Muhammad Diah (BM Diah), yang juga merupakan tokoh pers nasional. Pasal yang digugat adalah Pasal 1329 KUH Perdata, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 1 UUD 1945.
Menurut Irawan Santoso, SH, kuasa hukum pemohon, yang berasal dari Daar Afkar & Co. Law Firm, permohonan itu merupakan upaya untuk mendudukkan kembali format bentuk negara Republik seperti yang diamanatkan dalam Konstitusi. “Indonesia adalah berbentuk negara republik, tapi ternyata banyak aturan hukum yang mengandung riba, sementara negara republik adalah anti riba,” papar Irawan, pengacara asal Medan, Sumatera Utara tersebut.
Menurutnya, Pasal 1329 KUH Perdata, mengandung dilegalisasinya aturan memungut ‘bunga’, yang hal itu digolongkan sebagai riba. “Itu bertentangan dengan bentuk negara Republik,” tegasnya lagi. Karena, sambungnya, format bentuk negara Republik adalah merujuk pada para konseptornya yakni Plato, Aristoteles, sampai Cicero. “The founding fathers kita tisak memberikan rujukan komplet perihal Indonesia adalah negara republik, maka kita harus mengacu pada Aristoteles, Plato dan Cicero, yang memiliki panduan perihal negara Republik,” tambahnya lagi.
Klausul dibolehkannya memungut ‘bunga’, sambungnya, sebagaimana dimuat dalam KUH Perdata itu, jelas bertentangan denngan konseptor negara Republik seperti Plato, Aristoteles, Cicero, yang justru tidak setuju dengan pemungutan ‘bunga’ dalam hal utang piutang. “Plato, Aristotles, sampai Cicero yang memiliki konsep negara republik, mereka semuanya menghujat dan membenci bunga dalam utang piutang, makanya KUH Perdata ini tidak sesuai dengan konsep negara republik,” tambahnya lagi.
Permohonan ini khusus diajukan oleh Nurman Diah, yang dianggap sebagai ‘zuriat’ dari NKRI, yang merupakan salah seorang pendiri negara Indonesia.
Gugatan terkait pasal riba dalam KUH Perdata ini, tergolong baru dalam sengketa uji materil UU di MK. “Sekaligus ini menjadi evaluasi buat bangsa Indonesia, bahwa kita masih gunakan KUH Perdata yang merupakan copy paste murni dari Burgelijk Wetboek yang berasal dari Hindia Belanda,” jelas Irawan lagi.
KUH Perdata, ujarnya lagi, berasal dari Burgelijk Wetboek yang dibawa Hindia Belanda. Sementara Hindia Belanda mengambilnya dari Cide Civil dari Republik Perancis, pasca Revolusi Perancis, tahun 1789. “Revolusi Perancis itu adalah produk perang ‘aqidah’ antar penganut agama Kristen melawan Katolik di Eropa, itu yang menghasilnya Code Civil, jadi sangat tidak sesuai digunakan oleh bangsa Indonesia, karena didalamnya banyak mengandung pasal riba,” tegas Irawan lagi.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain