Jakarta, Aktual.com – Ambang batas pemilihan presiden (presidential Threshold) di pemilu 2019, yang diusulkan pihak pemerintah mendapat sorotan dari sejumlah kalangan.

Dikutip dari media online nasional, pakar komunikasi politik Effendi Ghazali menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi melalui gugatan yang dia ajukan terhadap UU nomor 42 tahun 2008, menetapkan bahwa pileg dan pilpres digelar serentak pada 2019.

Maka dari itu, pemerintah seharusnya menghapus ketentuan ambang batas perolehan suara di pemilu legislatif, yang dijadikan syarat mengusung capres dan cawapres oleh parpol.

Menurut dia, upaya penentuan ambang batas pada pilpres 2019 melalui RUU pemilu yang diajukan pemerintah hanya mengakomodir kepentingan partai semata.

“Harusnya semua pihak membaca alasan permohonan judicial review saya dan alasan MK mengabulkannya, seperti menghindari politik uang, menghindari soal ‘like or dislike’ dalam penentuan capres, menghindari menghalangi hak orang maju menjadi capres lewat syarat yang dipersulit melalui presidential threshold,” kata Effendi, ditulis Senin (16/1).

Dia menilai, selain bertentangan dengan putusan MK, usulan ini bertentangan dengan amandemen terakhir UUD 1945.

“Hari gini membicarakan ‘presidential threshold’, artinya sarat kepentingan. Padahal kalau ada makin banyak capres makin baik untuk bangsa, kan makin bagus,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh: