Menjadi pertanyaan pula mengapa polisi masih melakukan negosiasi – disebutkan negosiasi tanpa batas waktu – apakah lima bhayangkara negara yang gugur itu tidak menjadi alasan kuat bagi polisi untuk mengambil tindakan tegas, tembak di tempat, terhadap para tahanan yang menyandera satu petugas kepolisian? Mengapa mereka “seolah-olah” dibiarkan berlama-lama, lebih dari 1×24 jam, “menguasai” di salah satu tempat di Mako Brimob, yang merupakan objek vital negara dan simbol negara dalam penegakan hukum. Jelas-jelas para tahanan itu mengancam simbol negara yang semestinya mendapatkan pengamanan tingkat tinggi.
Kita masih ingat bahwa kurang dari sejam kelompok teroris yang beraksi meledakkan bom di kawasan Sarinah di Jalan Thamrin pada 14 Januari 2016 langsung ditembak mati, sejak ledakan pertama terjadi pada pukul 10.39 WIB di sebuah gerai kopi.
Mengapa ini di “sarang sendiri”, terlebih di Mako Brimob yang merupakan markas komando pasukan elite di Polri, penumpasan terhadap aksi brutal sejumlah tahanan itu tidak segera dilakukan secara tuntas, sapu bersih.
Padahal hampir setiap hari di Mako Brimob dilakukan latihan menembak. Di tempat ini juga kerap diajarkan secara teori dan dilatih secara praktis penanganan terhadap ancaman dari teroris.
Aksi brutal sejumlah tahanan itu merupakan upaya nyata dari ancaman teroris, apalagi mereka merupakan tahanan teroris. Bahkan itu terjadi di tempat yang mendapat pengamanan super ketat.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid