Jakarta, Aktual.com — Bank Indonesia (BI) menyatakan belum bisa menggunakan instrumen suku bunga acuan (BI rate) untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi domestik yang tengah lesu.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kendati inflasi nisbi terkendali pihaknya tidak serta merta dapat menurunkan BI rate yang saat ini masih di level 7,5 persen karena masih ada dampak dari risiko global ke depan.
“Risiko jangka pendek (global) ini jadi pertimbangan BI dalam memutuskan kebijakan suku bunga. Ini juga menjadi suatu kendala BI belum bisa menggunakan instrumen suku bunga itu,” ujar Perry saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (30/9).
Kendati demikian, lanjut Perry, hal tersebut tidak berarti BI tidak perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagai alternatif, selama ini BI menggunakan instrumen melalui relaksasi kebijakan makroprudensial, seperti pelonggaran LTV (loan to value) untuk KPR misalnya.
“Relaksasi makroprudensial itu supaya perbankan mampu salurkan kredit. Namun, seperti hukum ekonomi ada permintaan ada penawaran, begitu juga kredit. Bank sudah siap salurkan, tapi yang kita tunggu dari permintaan kreditnya,” ucapnya.
Ia menuturkan, permintaan kredit dalam dua bulan terakhir sudah menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit pada Juli mencapai 10,9 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya 9,4 persen (yoy).
“Agustus dan September ini kredit mulai naik. Dampak kebijakan makroprudensial terhadap kredit sudah mulai terasa,” ujar dia.
Perry menambahkan, dengan paket-paket kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan konsumsi dan investasi sehingga kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Ini kenapa kita optimistis pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih baik,” ujar Perry, berharap.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka