Jakarta, Aktual.com — Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia dan Real Estate Indonesia mengharapkan bank sentral dapat menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) yang dampak lanjutannya dapat menurunkan angsuran kredit.
“Agar angsuran bisa lebih murah apa syaratnya? Ya turunkan tingkat suku bunga (BI Rate). Sekarang bagaimana mau menurunkan angsuran kalau suku bunganya tidak turun,” kata Sekretaris Jenderal APPI Efrizal Sinaga di Jakarta, ditulis Jumat (7/8).
Menurut dia, penurunan BI Rate sebesar 25 basis point (bps) dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen dianggap kurang berdampak besar terhadap kredit pembiayaan.
“Contoh seperti kemarin BI Rate pernah turun 25 bps, itu nggak menggigit karena 25 bps kalau diturunkan ke cost of fund, itu secara rupiah paling hanya beberapa ribu saja. Tapi kalau bisa turun 50 persen itu kan bisa membawa stimulus dan dampak psikologis yang lebih baik, ya minimal 50-75 bps,” ujar Efrizal.
Ia mengharapkan penurunan BI Rate bisa dilakukan secepatnya karena didukung kuatnya cadangan devisa dan turunnya inflasi komponen inti.
Berdasarkan data BPS, tingkat inflasi komponen inti Juli 2015 tercatat sebesar 4,86 persen atau lebih rendah daripada inflasi komponen inti Juli tahun lalu yang secara year on year sebesar 5,04 persen.
Regulator juga dinilai tidak perlu menunggu kenaikan suku Bunga The Fed yang tidak pasti kapan kenaikannya agar kebijakan yang dikeluarkan tersebut tidak terlambat sehingga mampu mendorong laju perekonomian nasional.
“Kalau misalnya The Fed nanti akan menaikkan semuanya bisa buyar kan nantinya, nah sekarang apakah kita menunggu sampai Oktober dulu baru setelah itu kita lihat. Kalau kita menunggu sampai Oktober lalu November melalukan perubahan setelah itu orang juga orientasinya sudah liburan sudah masuk tutup buku dan hari kerja juga sudah tidak banyak lagi, terus mau berapa banyak yang bisa kita tingkatkan,” kata Efrizal.
Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia Hari Raharta Sudrajat berharap BI dapat menurunkan suku bunga acuan perbankan (BI Rate) untuk mendorong pertumbuhan pasar properti dalam negeri.
Bank Indonesia telah menurunkan aturan uang muka properti menjadi 20 persen dari sebelumnya 30 persen, namun hal tersebut belum mampu meningkatkan daya beli masyarakat terhadap properti.
“Uang muka sudah turun, kami harapkan BI Rate juga turun menjadi lima persen atau enam persen,” ujarna.
Hari menuturkan dengan tingginya BI Rate, maka cicilan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) kurang bersahabat, yakni bunganya “double digit”.
Padahal, katanya, masyarakat membeli rumah tidak hanya memikirkan uang muka tetapi cicilan menjadi pertimbangan juga.
“Kita harapkan KPR itu ‘single digit’, sekarang kan ‘double digit’, jadi masyarakat masih berat. Sekarang buat apa ‘double digit’ kalau sedikit yang mengajukan KPR, mendingan ‘single digit’ tapi ini meningkatkan permintaan KPR,” kata Hari.
Artikel ini ditulis oleh: