Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kanan) berbincang dengan Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati (kiri) pada seminar nasional kajian tengah tahun Indef 2016 di Jakarta , Rabu (27/7). Seminar yang bertema Evaluasi Paket, Evaluasi Ekonomi tersebut membahas tentang perjalanan ekonomi Indonesia selama separuh tahun 2016 termasuk capaian dan kekurangannya. ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Peran kepala daerah baru hasil Pemilukada 2015 lalu harus dapat lebih mengendalikan laju infasi, tak hanya memprioritaskan mengejar laju pertumbuhan ekonomi.

“Ada 263 kepala daerah baru. Mereka harus paham pentingnya pengendalian inflasi. Karena pejabat baru umumnya hanya mau mengejar pertumbuhan tinggi, kalau inflasinya tidak dikendalikan akan rugi,” tutur Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo dalam Rakornas TPID di Jakarta, Kamis (4/8).

Untuk itu, para kepala daerah harus lebih teliti lagi dalam melihat komoditas utama di masing-masing daerahnya yang akan menjadi penyumbang utama laju inflasi.

“Sejauh ini, kami dari BI sudah menindaklanjuti untuk menyusun roadmap masing-masing daerah dalam pengendalian inflasi. Roadmap itu harus menjadi rujukan dalam pengendalian infalsi di daerah,” tegas dia.

Makanya, harusnya semua daerah memiliki Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Memang diakui Agus Marto, masih ada beberapa daerah yang belum memiliki TPID. Namun dibanding tahun lalu, saat ini kemajuannya sudah sangat bagus.

“Kami terus ikuti arahan dari Pak Presiden agar setiap daerah membentuk TPID. Saat ini yang sudah dibentuk baik itu di tingkat provinsi/kabupaten/kota ada 489 TPID atau 90 persen dari total daerah otonom, dari 34 TPID provinsi dan 445 di kab/kota,” papar Agus.

Jumlah itu, menurutnya, naik signifikan dari posisi Rakornas TPID tahun lalu yang mencapai 432 TPID dengan sebaran wilayah yang lebih merata.

“Dengan bertambahnya jumlah TPID, maka akan memperkuat koordinasi. Kami telah membentuk sekretariat pokja TPID di Kemenko Perekonomian,” jelas Agus.

Sejauh ini, selama tujuh bulan pertama di 2016, Indeks Harga Konsumen (IHK) secara year to date (ytd) lebih baik di angka 1,76 persen. Bahkan, inflasi bulan puasa dan lebaran lalu cukup terkendali yakni 0,66 persen dan 0,69 persen (month to month/mtm).

“Angka itu lebih rendah dari rata-rata historis inflasi puasa dan lebaran 5 tahun terakhir yang mencapai 1,82 persen dan 0,79 persen,” urai dia.

Ke depan, daerah-daerah harus lebih siap dalam mengendalikan komoditi-komoditi yang berpotensi menjadi penyumbang utama inflasi. Seperti konoditi telur ayam atau cabai merah.

Pada puasa lalu beberapa daerah seperti Padang melakukan pasar murah telur ayam, cabai merah di Banten dan operasi pasar murah lainnya. Dan beberapa daerah juga menginisiasi menambah pasokan seperti Jambi dan Lampung mendatangkan bawang merah dari Jatim. Menurutnya, itu bentuk komunikasi dan koordinasi pengendalian inflasi antar daerah.

BI juga menyambut baik rencana pemerintah untuk memberikan insentif kepada daerah dalan pengendalian inflasi yang baik.

“Mulai 2016 ini, Kemenkeu telah memasukan kriteria kinerja pengendalian inflasi sebagai salah satu komponen perhitungan untuk pengucuran dana daerah,” tandas Agus. (Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka