Jakarta, Aktual.com — Bank Indonesia (BI) mengevaluasi bahwa kebijakan relaksasi dengan menaikkan pembiayaan perbankan terhadap nilai agunan (loan to value/LTV) tidak cukup untuk mendongkrak permintaan kredit, namun perlu bauran kebijakan pemerintah agar insentif yang diberikan lebih komprehensif.
“Kalau saja kami punya kebijakan sektor perumahan yang komprehensif akan lebih optimal, jadi bukan hanya dari sisi perbankan tapi perlu seperti perlindungan konsumen dan lainnya yang belum tercakup,” kata Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudensial BI Yati Kurniati di Jakarta, Jumat (27/5).
Hal tersebut merupakan evaluasi BI dari kebijakan sebelumnya yang menaikkan LTV menjadi 80 persen dari 70 persen, sehingga uang muka yang dibayarkan nasabah hanya 20 persen dari total pembiayaan rumah.
Yati mengatakan, relaksasi yang dikeluarkan pada November 2015 itu memang belum mampu mendongkrak pertumbuhan kredit dan menstimulus pertumbuhan ekonomi.
Selain karena kebijakan yang masih parsial, lanjut Yanti, relaksasi tersebut “tidak laris” karena perlambatan ekonomi yang cukup dalam pada tahun lalu.
Akibatnya, masyarakat atau nasabah lebih memilih mengeluarkan uang untuk keperluan utama dibandingkan membeli rumah atau kendaraan bermotor.
Kebijakan relaksasi LTV pada tahun lalu itu pada akhirnya hanya menahan perlambatan ekonomi agar tidak semakin dalam, tapi belum sampai mendorong ekonomi untuk tumbuh.
“Jadi dampak pelonggaran LTV tidak terlalu signifikan utk mem-boost (pertumbuhan kredit) karena masih ada perlambatan dari sektor lainnya,” ujarnya.
Pada 2015, pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya mencapai 10,1 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan batas bawah proyeksi BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sebesar 11 persen – 13 persen.
Tahun ini, Yati mengatakan, BI ingin mengeluarkan kebijakan relaksasi LTV secara menyeluruh. Dia melihat insentif di bidang pembiayaan perumahan ini akan turut membuat pemulihan ekonomi berjalan mulus pada tahun ini.
Namun, dia juga meminta pemerintah untuk turut mengeluarkan kebijakan yang sinergis, agar industri properti dan kredit perbankan bisa tumbuh maksimal.
“Jadi bukan hanya dari sisi perbankan saja, bisa juga dari perpajakan, yang belum tercakup,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka