Jakarta, Aktual.com – Bank Indonesia membantah polemik yang menyebut kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada 1998 silam.
Menurut Bank Indonesia, menyamakan kondisi depresiasi nilai tukar Rupiah saat ini dengan masa krisis pada 1998 sangat tidak relevan karena kondisi fondasi ekonomi domestik saat ini jauh lebih kuat dibanding 20 tahun lalu.
Salah satu indikator sederhana untuk melihat dampak nilai tukar rupiah adalah dengan membandingkan pergerakkan nilai tukar rupiah dengan harga barang atau inflasi, kata Direktur Eksekutif Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi pada diskusi di gedung Kemkominfo, Jakarta, Senin Jakarta, Senin (10/9).
“Saat ini inflasi cukup terkendali di sasaran pemerintah dan Bank Sentral, yakni 3,2% (yoy) per Agustus 2018,” tambah Doddy.
Jika melihat data pada bulan yang sama di 1998, inflasi mencapai 78,2% (yoy).
Cara sederhana lainnya melihat kondisi nilai tukar adalah dengan menelisik level pergerakannya, bukan hanya terpaku pada level atau nominal psikologisnya.
Saat ini, rupiah memang berada di Rp14.900 per dolar AS. Namun, nilai rupiah bisa menyentuh angka tersebut dari level Rp13,400 per dolar AS selama kurun satu tahun, atau terdepresiasi sekitar 8%.
“Ini berbeda dengan angka kurs Rp15 ribu pada 20 tahun lalu, yang melemah dari level yang sangat dalam,” katanya.
Pada September 1998, rupiah di level Rp10.750 per dolar AS atau melemah 254% dibanding September 1997 yang sebesar Rp3.030 per dolar AS.
Doddy menuturkan jika hanya melihat nilai tukar mata uang sebagai angka psikologis adalah kekeliruan. Nilai tukar mata uang seharusnya dilihat dari volatilitas pergerakannya.
“Bagi pelaku ekonomi yang relevan adalah seberapa cepat nilai tukar bergerak. Kalau bergerak ke Rp13.500 ke Rp15.000 per dolar AS presentase melemahnya hanya 7-8%. Itu akan sangat beda dampaknya ke kondisi keuangan,” ujar Doddy.
Bank Sentral saat ini juga masih memiliki kecukupan amunisi menjaga stabilitas nilai tukar secara memadai, dibandingkan masa krisis 1998. Pada 20 tahun lalu, cadangan devisa hanya tersisa 17 milair dolar AS. Sedangkan, per Agustus 2018, cadangan devisa Indonesia terkumpul 117 miliar dolar AS.
Cadangan devisa menjadi parameter yang juga dilihat investor global untuk melihat daya tahan perekonomian suatu negara untuk menjaga stabilitas dari tekanan eksternal dan juga memenuhi kewajiban utang valasnya.
“Selain itu, Tahun 98 berapa tingkat kredit macet perbankan (NPL) lebih dari 30%, sekarang hanya 2,7% dan trennya terus turun, dan lain sebagainya. Yang jelas, tahun ini lebih baik daripada tahun 98. Jadi, ironis jika ada yang bilang tahun ini kita krisis seperti tahun 98,” ujarnya.
BI berjanji akan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan berbagai upaya, seperti intervensi ganda di pasar SBN dan valas, penurunan biaya barter (swap) valas dan juga penyesuaian kebijakan moneter.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan