Jakarta, Aktual.co — Bank Indonesia (BI) menyatakan, siklus keuangan Indonesia (SKI) saat ini memberikan indikasi mulai memasuki fase perlambatan yang disebabkan oleh menurunnya laju pertumbuhan kredit sebagai indikator pembiayaan perekonomian domestik.
“Hasil estimasi Bank Indonesia menunjukkan terjadi perlambatan siklus keuangan sebagaimana tampak dari arah siklus keuangan yang cenderung menurun,” kata Direktur Ekesekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara di Jakarta, Selasa (28/10).
BI menilai, perlambatan siklus keuangan yang terjadi bersamaan dengan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan global ke depan, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi ke depan.
Sumber-sumber pembiayaan ekonomi pada tahun-tahun mendatang dapat menjadi relatif terbatas. Perbankan domestik memerlukan tambahan modal atau likuiditas dengan LDR yang telah mencapai 89,7 persen per September 2014. Sementara pembiayaan dari Utang Luar Negeri (ULN) yang dalam dua tahun terakhir naik tinggi mulai mengalami perlambatan.
Tirta menuturkan, volatilitas nilai tukar yang meningkat dalam dua tahun terakhir menaikkan risiko nilai tukar sehingga ikut mengurangi ULN. ULN sektor swasta pada Agustus 2014 tumbuh sebesar 12,2 persen (yoy) atau lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 13,2 persen (yoy).
“Memperhatikan perkembangan tersebut, Bank Indonesia mencermati dan mengelola pergerakan siklus keuangan melalui kebijakan makroprudensial. Sebagian hasil dari kebijakan makroprudensial yang telah diterapkan selama ini sudah mulai tampak pada perilaku amplitudo siklus keuangan,” ujar Tirta.
Sebagai contoh, lanjut Tirta, kedalaman penurunan siklus keuangan 2005-2009 lebih rendah dibandingkan dengan krisis sekitar 1998. Begitu pula dengan durasi peak-through pad siklus keuangan 2005-2008 yang lebih pendek dari kisaran krisis sekitar 1998.
Dalam rangka memperkuat kehati-hatian di sektor korporasi dan memperdalam pasar keuangan valas, Bank Indonesia akan menyempurnakan aturan ULN. Aturan tersebut ditujukan untuk memperkuat ketahanan korporasi dengan memitigasi risiko currency mismatch, risiko liquidity mismatch dan risiko overleverage.
“Dengan demikian, ketahanan korporasi menjadi lebih baik dalam menghadapi risiko yang mungkin ditimbulkan dari perlambatan siklus keuangan dan dinamika perekonomian global,” kata Tirta.
Bank Sentral di dunia kini memang memberi perhatian lebih terhadap dinamika siklus keuangan. Belajar dari beberapa krisis sebelumnya, pengelolaan makro perekonomian dengan hanya berdasarkan siklus bisnis atau naik-turunnya pertumbuhan ekonomi tidak cukup. Seringkali, risiko justru timbul dari pergerakan boom-bust (naik turunnya) siklus keuangan yang tidak selalu sama dengan siklus bisnis.
Sebelum terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, kebijakan makroekonomi, termasuk moneter, sering terpaku pada siklus pertumbuhan ekonomi atau siklus bisnis. Terkadang siklus bisnis sudah mengalami fase turun sementara siklus keuangan masih mengalami fase meningkat. Luputnya bank sentral di dunia dalam mengawasi dinamika siklus keuangan dituding sebagai penyebab krisis keuangan global 2008.
Dalam hal ini, kebijakan Bank Sentral untuk menurunkan suku bunga sejalan dengan pencapaian inflasi yang rendah justu dapat memicu risk taking atau perilaku mengambil risiko berlebih pada sektor yang spekulatif dengan motivasi mencari high yield atau imbal hasil tinggi yang semakin dominan.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka