Jakarta, Aktual.com – Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kondisi stabilitas ekonomi makro yang masih terjaga dari segi inflasi telah membuka peluang terjadinya pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral.
“Stabilitas makro memang lebih baik, inflasinya lebih rendah. Itu membuka peluang untuk pelonggaran moneter,” kata Perry menanggapi pemangkasan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 4,75 persen di Jakarta, Jumat (21/10).
Perry mengatakan tingkat inflasi hingga akhir tahun 2016 dan pada 2017 diproyeksikan hanya mencapai kisaran tiga persen 3,5 persen, sehingga membuat ruang terjadinya penurunan suku bunga transaksi surat berharga bersyarat dengan tenor tujuh hari (7-Day Reverse Repo Rate) dimungkinkan.
Selain itu, faktor lain yang mengakibatkan penurunan suku bunga acuan adalah pertumbuhan ekonomi nasional yang diproyeksikan hanya mencapai lima persen, atau sedikit menurun dari perkiraan awal pada kisaran 5,1 persen-5,2 persen.
“Dua pertimbangan itu, yang membuat kemarin kita memutuskan untuk menurunkan suku bunga agar ruang yang terbuka dari stabilitas itu, mampu mendukung lebih lanjut pertumbuhan ekonomi kedepan,” kata Perry.
Perry mengharapkan pelonggaran bunga acuan yang telah dilakukan Bank Indonesia selama enam kali sejak awal 2016 bisa memberikan optimisme yang lebih baik kepada para pelaku usaha dan masyarakat agar kondisi perekonomian kembali bergairah.
“Sekarang adalah bagaimana mendorong optimisme kedepan. Kita sudah melonggarkan giro wajib minimum. Likuiditas kita jaga dan makroprudensial kita sudah relaksasi. Suku bunga juga kita turunkan, tahun ini dengan kemarin sudah enam kali,” katanya.
Terkait kemungkinan adanya pelonggaran kebijakan moneter di sisa tahun 2016, Perry memastikan hal itu mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan situasi perekonomian global termasuk kemungkinan kenaikan suku bunga acuan The Fed dan pemilihan Presiden AS.
“Itu sudah kita perhitungkan. Bahkan, tahun depan kenaikan ‘Fed Fund Rate’ dua kali sudah kita perhitungkan dalam perumusan kebijakan. Demikian juga pengaruh politik yang bisa menimbulkan ‘uncertainty’ di pasar global. Secara keseluruhan, risiko-risiko global itu masih ‘manageable’,” ujarnya. (ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka