Jakarta, Aktual.com – Serikat Pekerja PT Pertamina Geothermal Energy (SP-PGE) meminta Kementerian BUMN menjelaskan rencana pengambilalihan PGE oleh PT Perusahaan Listrik Negara karena hingga saat ini terdapat kesimpangsiuran informasi terkait konsep tersebut mulai dari akuisisi, sinergi, maupun “chip in”.
“Sebelum bisa menjelaskan dengan terang-benderang, kami dengan tegas meminta Kementerian BUMN untuk menghentikan proses dan isu pengambilalihan PGE oleh PLN dalam bentuk apapun,” kata Ketua SPPGE Bagus Bramantio dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (27/10).
Menurut Bagus, wacana tersebut membuat resah para pekerja dan mengganggu fokus kerja para pekerja PGE. Jika semula PGE ingin mempercepat usaha geothermal di Indonesia, wacana tersebut justru menjadi faktor penghambat dan membuat kontraproduktif terhadap kinerja.
Berubah-ubahnya konsep pengambilalihan, menurut Bagus, semakin memperjelas bahwa konsep tersebut belum matang. Selain itu, juga mengesankan bahwa terdapat perubahan skenario terkait perkembangan situasi.
Ketika terdesak untuk satu konsep, lanjutnya, dengan mudahnya Kementerian BUMN mengubah menjadi konsep yang lain.
Padahal sebagai aksi korporasi, seharusnya dilakukan dengan matang dan tidak main-main.
“Itu sebabnya, kami siap beraudiensi dan memberikan hasil kajian kami, bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN bukan merupakan solusi yang tepat untuk percepatan panas bumi di Indonesia,” katanya.
Bagus mengatakan SPPGE dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, sejak awal September 2016 telah melayangkan dua kali surat permohonan agar bisa bertemu Menteri BUMN dan meminta penjelasan. Namun hingga saat ini, permohonan tersebut sama sekali tidak mendapat respons yang positif. Bahkan, dalam pertemuan terakhir SPPGE hanya diterima staf Kementerian BUMN.
Jika dalam tempo satu minggu Menteri BUMN belum memberikan respons positif, lanjut Bagus, maka SPPGE siap melakukan aksi yang lebih besar.
Berdampak buruk Wakil Ketua SPPGE Sentot Yulianugroho menambahkan pengambilalihan tersebut akan memiliki dampak buruk bagi geothermal Indonesia. Dari aspek hukum, misalnya, kata Sentot, adalah potensi terlepasnya 12 WKP Eksisting yang saat ini dikelola PGE, sehingga operasional pengembangan panas bumi pada WKP Eksisting tersebut menjadi terkendala dan pencapaian target bauran energi yang dicanangkan Pemerintah menjadi terancam.
“Ketika PGE tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anak perusahaan Pertamina, maka PGE berpotensi akan kehilangan kendali dan tidak bisa mempertahankan WKP Eksisting. Jika itu terjadi, maka hal ini dapat memicu potensi gugatan arbitrase dari mitra joint operation contract (JOC),” kata Sentot.
Sentot juga mengingatkan bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN akan memperburuk iklim investasi, sehingga menjadi kontraproduktif dengan semangat percepatan pengembangan panas bumi, sebagaimana diamanahkan UU Nomor 21 Tahun 2014 UU tentang Panas Bumi.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan