Lewat  kejadian  ini  hatiku  menjadi  semakin  bertambah  rasa  cinta  dan  kerinduan  kepada  keduanya. Selama sepuluh hari aku setiap merasa berada bersama keduanya, kedua matau deras  teteskan  air  mata.  Lewat  kejadian  itu  juga  hatiku  tidak  tertarik  lagi  dengan  segala  syahwat  dan  kenikmatan dunia.”

 

Keterikatan dengan Dzikir

Mulanya Syekh Maulay al-Arabi di ilhami dzikir dengan tanpa perantara seorang guru. Beliau  diberi anugrah taufik yang agung hingga setiap anggota badannya turut bergerak untuk berdzikir.  Beliau ra. berkata: “Kapan aku tahan salah satu anggota tubuh, maka bergeraklah anggota yang  lain untuk berdzikir. Dan terbakarlah jiwaku (larut/hanyut), aku umpamakan diriku yang tenggelam  dalam  lautan  dzikir  seperti  ikan  dalam  air  yang  jika  keluar  maka  ia  mati.  Lalu  Allah  tumbuhkan  keinginan  dalam  diriku  untuk  uzlah (mengasingkan  diri)  dari  makhluk,  berdiam  (dari  berbicara),  menahan lapar, terjaga diwaktu malam, qiyamul lail, hingga aku meyakini keadaan diriku, juga orang  yang serupa denganku dengan keyakinan yang baik.”

 

Pertemuan Dengan Syekh Sidi Ali Jamal
dan Talqin Wirid Thariqah Serta Tarbiyah

Syekh Maulay al-Arabi ra. berkata: “Lalu Allah Swt. dengan anugrah keutamaan, kemuliaan  dan kedermawanan-Nya menyadarkan aku akan kehinaan dan keterbatasan semua ada pada diriku,  menggugahku  untuk  mencari  seorang  guru  tarbiyah,  menumbuhkan  kebutuhanku  terhadapnya  laksana  orang  yang  dahaga  membutuhkan  air,  orang  yang  ketakutan  mencari  keamanan.  Dan  sebagian  dari  guru-guruku  dalam  Qira’at,  yang  ketekunan  dan  kesungguhan  mereka  seperti  keadaanku, seperti guruku yang saleh dan tekun beribadah, Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Ali  al-Jana’i sering sekali menyiapkan bekal untuk perjalananku dan beliau berkata kepadaku: “Mari kita  berkelana bersama menemui beberapa guru yang istiqamah agar bisa kita berbai’at kepadanya dan  menjadikan guru dalam thariqah. Bisa kita menemui Syekh Syarif Maulay Thayib bin Muhammad  al-Alami di Wazzan, atau Syekh Sidi Yusuf bin Nasir keturunan tokoh masyhur dan ahlussunnah-nya  penduduk Maroko Syekh sidi Ahmad bin Nasir ad-Dir’i di Dar’a, atau Syekh keturunan wali saleh,  yaitu Sidi Muhammad Buzyan di Qnadsah.

Dan  akupun  seringkali  menyampaikan  jawaban  kepada  beliau  bahwa  yang  aku  cari  adalah  ilmu batin yang mereka semua belum memilikinya, wallahu a’lam. Sebab jika mereka memilikinya  maka  para  sahabat/murid-muridnya  pun  memilikinya,  sebagaimana  dikatakan:  “Ujilah  manusia  melalui sahabat-sahabatnya.” Adapun ilmu zhahir yang ada pada mereka, akupun telah memilikinya.  Maka aku kembalikan perkara ini ke hadirat Allah Swt. yang telah membawa dan menyampaikanku  kemana saja, baik timur maupun barat, dengan kebaikan islam atau nasrani, kekuasaanlah yang  menyatukanku dengan-Nya.”

Syekh  Maulay  al-Arabi  ra.  berkata:  “Aku  membiasakan  ziarah  ke  makam  Maulana  Idris  ra.  Dihikayatkan  bahwa  beliau  dalam  mencari  seorang  mursyid  mengkhatamkan  al-Qur’an  60  kali  khataman di makam tersebut. Saat selesai mengkhatamkan beliau menangis deras dan memohon  kepada Allah dengan penuh kesungguhan, lalu beliau keluar dan bertemu cucu ulama ahli makrifat,  Maulay Abdul Aziz ad-Dabbagh ra. Lalu cucu Maulay Abdul Aziz berkata kepadaku: “Kenapa aku  menjumpaimu dalam keadaan seperti ini? Dan aku tampak dihormati betul olehnya dan selainnya. Aku  jawab: “Aku membutuhkan mursyid yang membimbingku dan belum menemukannya.” Ia berkata  kepadaku: “Aku akan tunjukan padamu asal kau tidak bermusyawarah dengan para ahli nalar yang  terbatas (ulama zhahir). sebab mereka tidak memandang kecuali terhadap keadaan yang luhur dan  mulia. Sedang beliau keadaannya rendah dan terhina hingga manusia menghindar darinya. Begitu  juga  boleh  jadi  ia  akan  tunjukkan  kepadamu  sesuatu  kekurangan  yang  dianggap  sempurna  oleh  khalayak ramai,  melarangmu sesuatu kesempurnaan yang dianggap kurang oleh mereka.”

Aku berkata kepadanya: “Siapa beliau ya Sidi?” Ia menjawab: “Dialah Sidi Ali bin Abdurrahman al-‘Umrani,  yang  digelari  “Al-Jamal”.  Setelah  menerima  kabar  tersebut,  aku  tidak  serta  merta menghampirinya  kecuali  setelah  melakukan  istikharah.  Maka  akupun  ber-istikharah  malam  itu  juga. Aku bermalam dengan melarutkan gambaran akan bagaimana sifat-sifatnya dan seperti apa  pergumulanku dengannya. Hingga aku tak tidur pada malam itu. Dan ketika selepas shalat subuh, aku  niatkan untuk mendatangi zawiyahnya di Rumailah. Ku ketuk pintu, lalu berdirilah seseorang yang  sedang menyapu Zawiyah, yang setiap hari tidak pernah ia lepas sapu tersebut dari tangannya yang  penuh berkah. Ia pun bertanya kepadaku: “Ada perlu apa?” Aku jawab: “Aku ingin mengambil bai’at  karena Allah.” Maka beliaupun berdiri dan menyamarkan keadaan (kemuliaan) dirinya kepadaku  seraya berkata: “Siapa yang memberitahumu? Siapa juga yang telah ber-bai’at dariku hingga aku pun  membai’atmu? Beliau pun mencerca dan menyalahkanku; Namun itu semua dalam rangka menguji  kesungguhanku.

Akupun berpaling darinya dengan keadaan tidak mengerti sama sekali, hingga sampai di masjid As-Syauk aku merasa ada orang yang berucap: “Syekh itu hanya mengujimu. Kembalilah padanya!” Syekh Maulay al-Arabi ra. berkata: Akupun tidak kembali pada hari itu. Tapi malam harinya aku ber-istikharah lagi. Aku bermalam dengan tekad yang kuat dengan tidak tidur hingga pagi. Dan  selepas shalat subuh akupun mendatangi Zawiyahnya lagi dan aku temukan keadaan beliau seperti  yang lalu, menyapu Zawiyah. Aku ketuk pintunya dan ia bukakan untukku. Aku berkata: “bai’atlah aku  karena Allah”. Lalu beliau menggenggam tanganku (tanda menerima bai’at) dan berkata: “Selamat  datang”.  Dan  membawaku  kedalam  tempatnya  di  Zawiyah  dengan  penuh  kegembiraan.  Akupun  bertanya kepadanya: “Wahai Tuanku, entah berapa lama aku telah mencari seorang Syekh Mursyid.”  Ia menjawab: “Akupun demikian, entah berapa lama aku menanti seorang murid yang sungguh-sungguh.”

Lalu beliau menuntunku (men-talqin) sebuah wirid: “Astaghfirullah (100X), Allahumma shalli  ala sayyidina Muhammad, an-Nabiy al-Ummiy wa ‘ala alihi wa sahbihi wasallim taslima (100X),  Lailaha illallah (100X), dan saat selesai bilangan seratus baca: “Sayyiduna Muhammad, Rasulullah  Saw.” Dan ia pun berkata kepadaku: Ini yang aku miliki dari jalur ahli zhahir ulama kalangan an- Nashiriyyin.

Beliau juga men-talqinku Al-Ismu Al-A’dzam, yaitu lafal Jalalah “Allah”, dengan cara yang mulia.  Ia pun berkata kepadaku: Ini yang aku miliki dari jalur ahli batin ulama kalangan keturunan Ibnu  Abdillah di Makhfayyah, mereka mengambil dari ulama kalangan al-Fasiyyin (Ulama Fes), dari al- Majdzub.

Syekh  Maulay  al-Arabi  ra.  berkata:  Adapun  cara  berdzikir  Isim A’dzam  yang  beliau  ajarkan  kepadaku adalah dengan menatap kelima hurufnya diantara kedua mata saat berdzikir, yaitu AlifLam (dua kali), Alif yang tersembunyikan dan Ha, dan dengan tanpa menggambarkannya baik dengan  tembok, batu, kayu atau lainnya. Akan tetapi menghadirkan dan menatapnya di hati saja. Dan kapan  aku luput menatapnya maka aku bergegas mengembalikannya, meskipun aku melupakannya seribu  kali maka tetap aku kembalikan pada posisi semula.

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin