Syekh Maulay al-Arabi ra. berkata: “Aku membiasakan ziarah ke makam Maulana Idris ra. Dihikayatkan bahwa beliau dalam mencari seorang mursyid mengkhatamkan al-Qur’an 60 kali khataman di makam tersebut. Saat selesai mengkhatamkan beliau menangis deras dan memohon kepada Allah dengan penuh kesungguhan, lalu beliau keluar dan bertemu cucu ulama ahli makrifat, Maulay Abdul Aziz ad-Dabbagh ra. Lalu cucu Maulay Abdul Aziz berkata kepadaku: “Kenapa aku menjumpaimu dalam keadaan seperti ini? Dan aku tampak dihormati betul olehnya dan selainya. Aku jawab: “Aku membutuhkan mursyid yang membimbingku dan belum menemukannya.” Ia berkata kepadaku: “Aku akan tunjukan padamu asal kau tidak bermusyawarah dengan para ahli nalar yang terbatas (ulama zhahir). sebab mereka tidak memandang kecuali terhadap keadaan yang luhur dan mulia. Sedang beliau keadaannya rendah dan terhina hingga manusia menghindar darinya. Begitu juga boleh jadi ia akan tunjukkan kepadamu sesuatu kekurangan yang dianggap sempurna oleh khalayak ramai, melarangmu sesuatu kesempurnaan yang dianggap kurang oleh mereka.”
Aku berkata kepadanya: “Siapa beliau ya Sidi?” la menjawab: “Dialah Sidi Ali bin Abdurrahman al-‘Umrani, yang digelari “Al-Jamal”. Setelah menerima kabar tersebut, aku tidak serta merta menghampirinya kecuali setelah melakukan istikharah. Maka akupun ber-istikharah malam itu juga. Aku bermalam dengan melarutkan gambaran akan bagaimana sifat-sifatnya dan seperti apa pergumulanku dengannya. Hingga aku tak tidur pada malam itu. Dan ketika selepas shalat subuh, aku niatkan untuk mendatangi zawiyahnya di Rumailah. Ku ketuk pintu, lalu berdirilah seseorang yang sedang menyapu Zawiyah, yang setiap hari tidak pernah ia lepas sapu tersebut dari tangannya yang penuh berkah. la pun bertanya kepadaku: “Ada perlu apa?” Aku jawab: “Aku ingin mengambil bai’at karena Allah.”
Maka beliaupun berdiri dan menyamarkan keadaan (kemuliaan) dirinya kepadaku seraya berkata: “Siapa yang memberitahumu? Siapa juga yang telah ber-baiat dariku hingga aku pun membaï’atmu? Beliau pun mencerca dan menyalahkanku; Namun itu semua dalam rangka menguji kesungguhanku.
Akupun berpaling darinya dengan keadaan tidak mengerti sama sekali, hingga sampai di masjid As-Syauk aku merasa ada orang yang berucap: “Syekh itu hanya mengujimu. Kembalilah padanya!” Syekh Maulay al-Arabi ra. berkata: Akupun tidak kembali pada hari itu. Tapi malam harinya aku ber-istikharah lagi. Aku bermalam dengan tekad yang kuat dengan tidak tidur hingga pagi. Dan selepas shalat subuh akupun mendatangi Zawiyahnya lagi dan aku temukan keadaan beliau seperti yang lalu, menyapu Zawiyah. Aku ketuk pintunya dan ia bukakan untukku. Aku berkata: “Bai’atlah aku karena Allah”.
Lalu beliau menggenggam tanganku (tanda menerima baiat) dan berkata: “Selamat datang”. Dan membawaku kedalam tempatnya di Zawiyah dengan penuh kegembiraan. Akupun bertanya kepadanya: “Wahai Tuanku, entah berapa lama aku telah mencari seorang Syekh Mursyid.” la menjawab: “Akupun demikian, entah berapa lama aku menanti seorang murid yang sungguh- sungguh.”
Lalu beliau menuntunku (men-talqin) sebuah wirid: “Astaghfirullah (100X), Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad, an-Nabiy al-Ummiy wa ‘ala alihi wa sahbihi wasallim taslima (100X), Lailaha illlah (100X), dan saat selesai bilangan seratus baca: “Sayyiduna Muhammad, Rasulullah Saw.” Dan ia pun berkata kepadaku: Ini yang aku miliki dari jalur ahli zhahir ulama kalangan an-Nashiriyyin.
Beliau juga men-talqinku Al-Ismu Al-A’dzam, yaitu lafal jalalah “Allah”, dengan cara yang mulia. la pun berkata kepadaku: Ini yang aku miliki dari jalur ahli batin ulama kalangan keturunan Ibnu Abdillah di Makhfayyah, mereka mengambil dari ulama kalangan al-Fasiyyin (Ulama Fes), dari al-Majdzub.
Syekh Maulay al-Arabi ra. berkata: Adapun cara berdzikir Isim Adzam yang beliau ajarkan kepadaku adalah dengan menatap kelima hurufnya diantara kedua mata saat berdzikir, yaitu Alif, Lam (dua kali), Alif yang tersembunyikan dan Ha, dan dengan tanpa menggambarkannya baik dengan tembok, batu, kayu atau lainnya. Akan tetapi menghadirkan dan menatapnya di hati saja. Dan kapan aku luput menatapnya maka aku bergegas mengembalikannya, meskipun aku melupakannya seribu kali maka tetap aku kembalikan pada posisi semula.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain