Jakarta, Aktual.com – Pengusutan dugaan penyimpangan proses bisnis impor minyak mentah dan BBM oleh Pertamina sebanyak 1 juta barel perhari oleh Penyidik Kejaksaan Agung untuk aktifitas periode 2018 hingga 2023 terkesan sangat tertutup sehingga berpotensi masuk angin.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam Catatan Akhir Tahun CERI yang disampaikan di Jakarta, Selasa (31/12).
“Tak hanya itu, ternyata ada juga yang sedang diselidiki oleh Tim Kejagung soal penjualan gas dan minyak bagian negara dari Participating Interest (PI) blok migas yang dikelola oleh BUMD dengan Pertamina di sektor hulu,” ungkap Yusri.
Menurut Yusri, meskipun VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar SH selalu menjawab belum terinfo atau akan dicek dulu informasinya, serta komentar Corcom Pertamina yang menyebut hanya minta data dan dokumen saja, maupun Corsec Subholding yang selalu bungkam, namun berdasarkan bisik-bisik sesama karyawan Pertamina yang bocor keluarĀ bahwa kegiatan penggeledahan tersebut benar adanya.
“Bersumberkan berita di media, setidaknya sejak akhir Oktober hingga pertengan Desember 2024, Tim Kejagung telah mengeledah kantor dan rumah beberapa direksi Pertamina (Persero) Holding dan Subholding, termasuk terakhir mengundang beberapa anggota direksi untuk klarifikasi ke gedung bundar pada 19 Desember 2024,” ungkap Yusri.
Konon kabarnya, lanjut Yusri, dalam pengeledahan tersebut ditemukan sejumlah uang yang sangat fantatis dan beberapa perangkat HP disita dan laptop dikloning untuk menambah dan memperkuat bukti-bukti yang sudah diperoleh lebih awal atas adanya dugaan ‘hengki pengki’ dalam impor minyak mentah dan BBM selama ini.
“Kami belum mendapat bocoran hasilnya. Namun, jika melihat aktifitas penggeledahan yang tetap dilakukan Tim Kejagung, kami menduga Presiden tetap berkomitmen meminta dugaan permainan itu tetap diusut,” ungkap Yusri.
Sebab, kata Yusri, menurut sumber CERI, sekitar USD1,2 miliar setiap tahun kemahalan akibat proses impor sejak tahun 2018 hingga 2023. Totalnya bisa mencapai sekitar USD6 miliar atau setara Rp96 triliun (nilai tukar USD = Rp16.000). Bahkan informasinya Tim BPK sedang melakukan perhitungannya.
“Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dan tidak menjadi sumber fitnah, kami berharap jika cukup alat bukti sebaiknya proses penyelidikan ini bisa segera dinaikan statusnya ke tahap penyidikan untuk menyelamatkan keuangan negara,” pungkas Yusri.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan