Jakarta, Aktual.com — Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menawarkan investasi di bidang industri film kepada para pengusaha Tiongkok, untuk memajukan industri perfilman nasional.
“Kami membuka kepemilikan asing dalam industri film sebesar 100 persen, guna mendukung industri kreatif di Indonesia,” kata Kepala BKPM Franky Sibarani pada Forum Bisnis Investasi Indonesia di Beijing, Kamis (10/3).
Ia menambahkan, “Indonesia memiliki populasi terbesar keempat dunia, sekitar 250 juta orang. Namun, jumlah bioskop kami hanya 1.100. Kami ingin memiliki lebih banyak film.”
Pemerintah merevisi daftar negatif investasi dan membuka 100 persen investasi asing dalam industri perfilman.
Kebijakan itu meliputi pembuatan, peredaran atau distribusi, eksibisi atau bioskop, yang dimasukkan dalam kajian revisi Peraturan Presiden No 39 tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Sebelumnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal menyebutkan, industri perfilman masuk ke dalam kelompok pariwisata dan ekonomi kreatif.
Di subbidang jasa teknik film kategori studio pengambilan gambar, laboratorium pengolahan, sarana pengisian suara, dan pencetakan dan/atau penggadaian film, investasi asing diperbolehkan 49 persen.
Untuk sarana pengambilan gambar, penyuntingan, dan pemberian teks, wajib 100 persen kepemilikan dalam negeri. Begitu juga kepemilikan untuk subbidang usaha pembuatan, pengedaran, dan pertunjukan film, seperti ekshibisi, wajib 100 persen dalam negeri.
Ketika dikonfirmasi tentang adakah yang sudah berminat, Franky mengatakan, “hingga kini baru Korea Selatan yang menyatakan minatnya. Amerika Serikat masih akan mendalami kebijakan itu.”
Terkait prosentase kepemilikan asing hingga 100 persen, ia mengatakan, “meski kami buka 100 persen, namun ada ketentuan bahwa asing harus tetap mengedepankan film nasional sebesar 60 persen. Lebih bagus, jika film kita dapat pula diekspor.”
Franky mengatakan industri film Indonesia harus berkembang lebih profesional, termasuk dalam penggarapan dan distribusinya menggunakan teknologi modern sehingga mampu bersaing dengan industri film asing.
“Jika industri film kita sudah maju, harusnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Mengapa baru sekarang. Jadi, kita butuh investor untuk memajukan industri film nasional, kalau bisa hingga berorientasi ekspor,” tuturnya.
Industri Film Tiongkok Industri film Tiongkok tumbuh cukup baik di negaranya. Pendapatan “box office” Tiongkok tahun lalu meningkat sebesar 36 persen, yaitu 4,77 miliar dolar AS. Hal tersebut didukung kesuksesan penjualan tiket baik film domestik maupun Hollywood.
Menurut angka yang dirilis pada 1 Januari lalu oleh Administrasi Negara urusan Pers, Publikasi, Radio, Film dan Televisi (SAPPRFT), produksi film lokal sendiri dapat meraup 2,6 miliar dolar AS 2014.
Meski berhasil menyumbang separuh kesuksesan, tapi secara produksi, industri film Tiongkok menurun. Pada 2014, Tiongkok memproduksi sebanyak 618 film, menurun dibanding 2013 yang memproduksi sekitar 638 film. Ketika dijual di luar negeri, total keseluruhan film Tiongkok pun hanya mampu meraup 304 miliar dolar AS pada tahun tersebut.
Menurut pendapat para kritikus, aturan sensor ketat China yang melarang semua film yang dianggap sensitif secara politis-lah yang telah menumpulkan daya tarik film lokal di mata dunia.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan