Jakarta, Aktual.com — Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Franky Sibarani mengatakan pihaknya mengidentifikasi masalah yang dihadapi para pelaku usaha di industri tekstil melalui pertemuan dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Menurut Franky, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat,(4/9) telah terjadi anomali dalam investasi di sektor tekstil yaitu adanya perkembangan positif investasi yang sedang memasuki tahap konstruksi, sementara di sisi lain kalangan industri tekstil eksisting banyak yang terancam keberadaannya.
“Kami tentu saja tidak ‘happy’ (senang) dengan kondisi yang ada sekarang. Pada satu sisi, investasi di sektor tekstil sepanjang Semester I 2015 tumbuh positif. Tapi di sisi lain, kalangan industri tekstil eksisting justru menyuarakan permasalahan menyangkut kelangsungan usahanya, bahkan ada yang menutup usaha dan melakukan PHK terhadap karyawannya,” katanya seusai pertemuan yang digelar Kamis (3/9) petang.
BKPM mencatat, sepanjang Semester I 2015 realisasi investasi untuk sektor tekstil masih tumbuh positif, naik 58 persen sebesar Rp3,88 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ada pun realisasi investasi seluruh subsektor tekstil pada Semester I 2015 juga tumbuh positif, yaitu industri pengolahan serat tekstil tumbuh 213 persen sebesar Rp2,40 triliun dari 82 proyek, industri pertenunan tekstil tumbuh 613 persen sebesar Rp163 miliar dari 25 proyek, industri pakaian jadi tumbuh 16 persen sebesar Rp941 miliar, dan industri perlengkapan pakaian tumbuh 563 persen sebesar Rp216 miliar dari 15 proyek.
Sedangkan dalam pemantauan 54 proyek investasi masa konstruksi, BKPM mencatat adanya potensi ekspor dari industri garmen sebesar 65,5 juta dolar AS.
Franky menambahkan,dalam pertemuan itu terungkap bahwa masalah yang dihadapi kalangan industri tekstil lebih banyak dihadapi oleh industri yang memiliki pangsa pasar domestik. Berdasarkan penjelasan API, lanjut dia, adanya pelambatan pertumbuhan ekonomi menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan lebih memprioritaskan untuk membeli kebutuhan primer, dibandingkan membeli kebutuhan sekunder, termasuk tekstil. Pasar tekstil domestik juga semakin tertekan dengan maraknya produk ilegal yang membanjiri pasaran. Akibatnya, menurut data API, pusat industri tekstil Mohamad Toha di Bandung yang pada awalnya berjumlah 42 pabrik, kini tinggal 26 pabrik yang beroperasi.
“Sementara untuk industri tekstil yang berorientasi ekspor relatif tidak menghadapi permasalahan, kecuali untuk meningkatkan daya saing ekspor melalui kebijakan perdagangan bebas khususnya dengan Uni Eropa dan Turki,” katanya.
Dalam pertemuan itu, kedua pihak juga mengidentifikasi beberapa isu yang dapat didorong untuk meningkatkan daya saing industri tekstil yang sudah eksisting, yaitu persoalan perizinan, khususnya yang menyangkut perizinan penggunaan air permukaan,perizinan tenaga kerja wanita untuk giliran malam hingga tarif listrik industri yang berdaya saing dengan negara lainnya.
“Kami akan mengintensifkan koordinasi dengan kementerian/lembaga untuk mengatasi permasalahan tersebut. Misalnya, jika menyangkut pertanahan, tentu kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Termasuk koordinasi dengan pemerintah daerah menyangkut izin-izin di daerah,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: