Solo, Aktual.com — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme memfokuskan kegiatan deradikalisasi terhadap mantan tahanan terorisme, agar mereka tidak kembali kepada kelompok radikal.
“Kami sedang fokus kegiatan deradikalisasi dan rehabilitasi terhadap mantan tahanan untuk mencegah mereka kembali ke kelompoknya,” kata Kepala BNPT Komjen Polisi Tito Karnavian di Solo, Kamis (31/3).
Menurut Tito, deradikalisasi merupakan upaya menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal atau prokekerasan.
“Namun, kami belum maksimal. Peristiwa bom Tamrin Jakarta beberapa waktu lalu justru direncanakan di Nusakambangan.”
Pihaknya melakukan pendekatan melalui konseling dengan membentuk beberapa tim kecil yang mendatangi mereka dengan “door to door”.
Menyinggung soal kelompok Santoso, Tito mengatakan perkembangan kontak rekrutmen oleh kelompok radikal di Indonesia, sejauh ini melalui internet atau sosial media. Mereka menggunakan sarana komunikasi dengan teknomogi informasi.
Terkait dengan kasus Poso, katanya, kelompok Santoso sudah diketahui lokasinya, tetapi memang medannya berat karena berupa hutan lebat dan gunung-gunung.
Namun, pihaknya optimistis dengan kekuatan yang ada karena aparat keamanan dari TNI dan Polri hanya tinggal menunggu waktu untuk bisa menangkap Santoso.
“Kita tinggal menunggu waktu saja soal penangkapan Santoso.”
Menyinggung soal kasus Siyono, warga Pogung, Klaten yang tewas setelah ditangkap aparat keamanan, Tito mengatakan bahwa kegiatan BNPT atau aparat khusus seperti Densus 88 tidak boleh dilemahkan akibat satu atau dua kasus.
“Teman-teman anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri, mereka sudah bekerja keras, tidak pulang, dan tanpa pamrih jangan dilemahkan.”
Pada kesempatan itu, dia juga membantah tentang kabar bahwa Densus 88 mendapatkan dukungan dana dari luar negeri terkait dengan penanganan terorisme di Indonesia.
“Jika kegiatan latihan memang ada, karena kapabilitas kita untuk penanganan terorisme setelah kejadian Bom Bali baru berkembang.”
Dia menjelaskan bahwa sebelumnya aparat keamanan khusus antiteror Indonesia masih lemah, misalnya menyangkut deteksi soal IT yang pasti kalah dengan negara maju sehingga hal yang wajar jika Indonesia harus belajar dari negara maju.
Hal itu, kata dia, tidak boleh dilemahkan hanya dengan satu atau dua kasus. Masyarakat tetap harus memberikan dukungan terhadap aparat dalam penanganan terorisme.
“Jika tidak, kelompok teroris akan menari-nari. Pasukan Densus 88 sudah mempelajari semenjak kejadian Bom Bali, dan jaringannya sangat kompleks sekali. Jika ada upaya untuk melemahkan atau mencari kesalahan mereka, berarti tidak mencintai NKRI.”
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu