Nyoman Arya (14 tahun), dua adiknya, Ketut Sana (12) dan Wayan Sudirta (4,5). (Dok Aktual/Bobby Andalan).

Karangasem, Aktual.com‎ — Nyoman Arya, bocah 14 tahun yang tinggal di tengah bukit bersama dua adiknya merupakan bocah berprestasi. Meski hidup serba keterbatasan, namun tak membuat Arya melupakan pendidikannya. Bocah yang kini duduk di bangku kelas 2 SLTP itu ternyata cukup baik dalam urusan belajar mengajar.

Bocah periang itu selalu mendapat peringkat kelas. “Arya dapat rangking dua di sekolah,” katanya polos saat ditemui di rumahnya, ‎di Bukit Puncak Sari, Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Rabu (7/9).

‎Tiap hari, Arya sekolah hanya dengan bekal uang Rp2 ribu. Uang tersebut ia gunakan untuk membeli kerupuk. “Kalau jajan ya cukup untuk beli kerupuk. Nanti dimakannya pakai saos,” katanya sambil tersenyum.

Arya tak mengeluh mengurus kedua adiknya yang masih kecil-kecil. Adiknya yang nomor dua, ‎Ketut Sana baru berusia 12 tahun. Dia duduk di bangku sekolah kelas 5 SD Ban. Sementara si bungsu, Wayan Sudirta baru berusia 4,5 tahun. Setiap hari, Arya selalu bermain bersama dua adiknya.

Jika berangkat ke sekolah, tentu saja Arya mengajak serta si bungsu. Sebab di rumah, bocah lucu itu tak ada yang menjaganya. “Kalau sekolah diajak di dalam kelas. Dia tidak nakal. Duduk saja di samping saya. Tidak dimarahin sama guru, diizinkan malah. Karena kata guru di rumah tidak ada yang jaga, makanya boleh diajak ke sekolah.”

Pagi hari masih gelap Arya sudah bangun untuk menanak nasi. Lauk mie instan biasa ia santap bersama kedua adiknya sebelum berangkat sekolah, yang berjarak sekitar dua kilometer. Medan berat dia lalui. Jalan berkelok turun naik dengan tanah berdebu tebal selalu dia lalui. Jika turun hujan, sudah barang tentu jalan itu akan berlumpur. Arya akan melepas sepatunya agar tak kotor. Sementara sang adik selalu dia gendong.

Pulang sekolah Arya kembali menyiapkan makan siang. Lauk mie instan kembali ia santap dengan lahap. Usai itu, dia lalu pergi ke ladang yang tak jauh dari rumahnya. Dengan cekatan, Arya memanjat pohon kelapa. Dari satu pohon ke pohon lainnya dia panjat tanpa lelah demi mendapat upah Rp5 ribu.

Dalam sehari, Arya bisa memanjat paling sedikit 10 batang pohon kelapa. Jika banyak pesanan, Arya bisa memanjat 20 batang pohon kelapa. Itu dia lakukan sendiri seharian tanpa peralatan bantuan apapun. Jika sudah begitu, Arya tentu saja tidak belajar karena terlalu lelah ‘bekerja’. “Sudah capek, tidak belajar,” katanya.

Meski bekerja keras, Arya tetaplah anak kecil yang butuh hiburan. Saban sore dia bermain bola di lapangan kecil di pinggir jurang dekat rumahnya. Selain bersama dua adiknya, Arya biasa bermain bola bersama seorang temannya bernama Ketut Ngara. Hingga matahari tenggelam biasanya dia bermain bola. Selepas itu, seperti biasa, dia kembali memasak nasi dan merebus mie instan untuk santap malam.

Sedihnya, kini Arya tak bisa lagi bermain bola. Hiburan satu-satunya tak bisa lagi dia lakukan. Sebab, bolanya telah jatuh ke dasar jurang. “Bolanya sudah jatuh ke jurang. Dicari tidak ketemu,” kata Arya tetap tersenyum.

Meski jago bermain bola, namun Arya tak pernah mengesampingkan cita-citanya menjadi polisi. “Saya ingin jadi polisi saja, tidak mau jadi pemain bola,” kata Arya dengan logat Bahasa Indonesia yang baku.

Ya, nasib Arya memang tragis. Ayahnya meninggal kala dia berusia sembilan tahun. Sementara ibunya baru saja menikah sekitar dua bulan lalu. Arya dan adiknya ditinggal di rumah di tengah bukit. Rumah tanpa aliran listrik dengan dapur dan kamar mandi serta penampungan air terpisah itu menjadi persinggahan Arya bersama kedua adiknya sejak ditinggal pergi ibunya.

Namun, Arya tak sekalipun mengeluh dengan kondisinya. Meski masih anak-anak, Arya tak sedih memikul tanggung jawab laiknya orang dewasa. Dia pun tak masalah hidup tak seperti anak-anak sebayanya kebanyakan. Jika mereka banyak memiliki mainan, Arya tak terlalu memikirkannya. “Gak punya mainan, gak apa-apa tuh.”

Kini Arya tak lagi sendiri mengurus kedua adiknya. Kakak kandungnya yang bekerja di kabupaten tetangga telah kembali ke rumah. Kakaknya bekerja sebagai pemetik cengkih di sebuah perusahaan yang terletak di Kabupaten Jembrana.‎ “Kakak sudah pulang, katanya mau tinggal di sini saja, tidak balik lagi ke Jembrana.”

‎Bantuan berupa sembako, peralatan memasak hingga uang pun mulai mengalir dari Pemerintah Kabupaten Karangasem, Pemerintah Provinsi Bali hingga perangkat desa setempat. Bahkan, Arya kini telah mendapat beasiswa yang diberikan oleh perangkat desa. ‎

Laporan: Bobby Andalan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu