Sedangkan saat ditanya tentang laporan saksi bahwa permasalahan SKL ini sudah final sehingga DPR tidak menggunakan instrumen lebih tinggi, Boediono menyampaikan, “Ya selama itu tertulis, kami menerima itu. Ya itu pandangan DPR. Pandangan DPR disampaikan ke pemerintah tentu akan diproses pemerintah, saya sendiri tidak proses ini. Ditindaklanjuti atau tidak, saya tidak tahu karena ini mungkin masuk birokrasi di pemerintah,” ucapnya.

Yani lalu menyoal tentang lampiran 4 poin 2 laporan akhir pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR pada bulan Februari 2008, bahwa tertulis BDNI/Sjamsul Nursalim selesai. “Saya hanya beri pengantar, tentu menkeu yang tahu,” kata Boediono. Saat itu, Boediono menjabat sebagai Menko Perekonomian, sementara Menteri Keuangan dijabat oleh Sri Mulyani.

Adapun petikan keterangan yang disampaikan pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR tersebut berisi, “Pemerintah terus menegakkan hukum dan keadilan dalam upaya mengembalikan kewajiban obligor. Pemerintah konsisten melaksanakan dan mempertegas kebijakan yang telah diambil dan dilaksanakan, termasuk pelaksanaan Inpres 8/2002, yaitu pemberian kepastian hukum bagi obligor yang kooperatif. Dalam hal ini debitor juga dibebaskan dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program PKPS. Seluruh proses penyelidikan, penindakan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum dihentikan.”

Sementara saksi Todung Mulya Lubis mengungkapkan, bahwa TBH KKSK tidak pernah merekomendasikan bahwa hutang petambak harus ditagihkan kepada pemegang saham (PS) BDNI dalam hal ini Sjamsul Nursalim. TBH sendiri hanya membuat laporan yang bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk KKSK dalam mengambil keputusan. “Kami sebagai TBH hanya sampaikan pendapat hukum dan sampaikan laporan,” ujarnya.

Todung sendiri membenarkan bahwa dalam BAP-nya, selaku TBH pernah menyarankan kepada KKSK jika Sjamsul Nursalim tidak kooperatif, maka pemerintah dalam hal ini BPPN bisa menempuh gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan pailit di pengadilan niaga, serta upaya hukum penyerahan penaguhan hutang dan seterusnya yang masuk ranah perdata bukan pidana.

Terdakwa Syafruddin ketika dikonfirmasi wartawan usai sidang menjelaskan bahwa Sjamsul Nursalim belum sepenuhnya menyelesaikan kewajibannya membayar kekurangan Rp 428 miliar dan penyerahan 12 perusahaan, termasuk Dipasena. Namun persoalan tersebut, kata Syafruddin bisa diselesaikan saat dia menjabat sebagai Ketua BPPN.

Menanggapi pernyataan Syafruddin, Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim (SN), Otto Hasibuan yang dikonfirmasi secara terpisah mengkoreksi pernyataan Syafruddin tersebut. Menurut Otto, kliennya telah menyelesaikan seluruh kewajibannya pada tanggal 25 Mei 1999, sehingga pemerintah pada saat itu memberikan release and discharge yang diperkuat dengan akta notaris Letter of Statement.

“Penyelesaian kewajiban SN pada tanggal 25 Mei 1999 telah dikonfirmasi dalam Laporan Audit BPK tahun 2002.

Adapun pembayaran senilai Rp 428 miliar yang dilakukan SN pada masa SAT menjadi Ketua BPPN adalah dalam rangka penukaran atas deposito group yang sebelumnya telah diterima dan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran Rp 1 trilIun. Sedangkan penguasaan pihak SN atas kepemilikan perusahan-perusahaan yang telah diserahkan pada tanggal 25 Mei 1999 kepada BPPN melalui TSI adalah didasarkan atas Perjanjian Pengurusan Perusahaan Akuisisi tertanggal 25 Mei 1999, dimana pihak SN ditunjuk melakukan pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut untuk kepentingan BPPN,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby