Jakarta, Aktual.co — Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD DKI Jakarta agaknya terus memanas.
Jajaran DPRD DKI Jakarta, Kamis (26/2), menggelar sidang paripurna terkait dengan penyampaian usul hak angket dari tim pengusul pada Ahok.
Berdasarkan catatan, dari 106 anggota seluruhnya sudah menandatangani hak angket ini, kata Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi saat membuka sidang.
“Dengan demikian, rapat paripurna dapat dilangsungkan. Jika diperlukan mengambil keputusan, maka itu adalah keputusan yang sah,” katanya.
Menurut tim pengusul hak angket, Fahmi Zulfikar Hasibuan, pihaknya mengajukan hak angket sehubungan dengan terjadinya pelanggaran serius yang dilakukan Pemprov DKI atas pengajuan Rapeda APBD 2015 yang bukan hasil pembahasan pada Kemendagri. “Maka kami menganggap gubernur melakukan pelecehan pada dewan,” katanya.
Apa yang telah dilakukan Ahok, kata Fahmi, terindikasi melanggar hukum atas beberapa aturan yang berlaku.
Aturan yang dimaksud adalah UU No 28 tahun 1999 tentang Negara yang Bersih dari KKN, UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU No 17 tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara, PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP No 79 tahun 2005 tentang Pedoman dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Permendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri No 37/2014 tentang Penyusunan APBD tahun 2015, dan Permenkeu No 46/pmk.02/2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi.
Wakil Ketua panitia Hak Angket, Inggard Joshua merasa yakin dapat menyelesaikan tugasnya kurang dari satu bulan untuk melakukan investigasi draf APBD DKI 2015 yang diserahkan Gubernur DKI Jakarta ke pada Kementerian Dalam Negeri.
DPRD DKI Jakarta menggulirkan hak angket lantaran draf APBD yang diserahkan ke Kemdagri dinilai tidak sesuai dengan pembahasan dan pengesahan saat paripurna.
Tim angket tersebut diwakili oleh tiga orang dari setiap fraksi. Mereka akan melakukan investigasi dengan cara memanggil Tim Anggaran Pendapatan Daerah (TAPD) selaku penyusun APBD yang diketuai Sekretaris Jakarta Saefullah.
“Ketika investigasi itu selesai, maka kami akan kembali menggelar sidang paripurna untuk menyerahkan hasil investigasi. Setelah itu, Ketua DPRD akan mengambil rekomendasinya seperti apa,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD DKI Mohammad Taufik menyebutkan, jika hasil investigasi itu menemukan unsur pidana, maka akan diserahkan pada pihak berwajib. Tetapi tujuan utama hak angket adalah untuk menegakkan aturan yang dilanggar mitra kerjanya di eksekutif.
Sementara itu Inggard Jaoshua mengatakan, hak angket digulirkan untuk mempercepat pencairan APBD 2015, karena hak budgeter pada dewan diatur dalam UU, dan tatib dewan, bukan untuk menang-menangan.
Menurut dia, pengajuan draf APBD seharusnya diserahkan dalam bentuk ‘hard copy’ yang ditandatangani pimpinan dewan. “Tapi itu tidak dilakukan eksekutif. Dan tetap ngotot dengan sistem E-Budgeting,” ujarnya.
Politisi Partai NasDem itu mengaku tidak mempermasalahkan soal sistem e-budgeting yang terus digembar-gemborkan Ahok.
“Tetapi Ahok harus tetap mengikuti aturan yang berlaku. E-budgeting itu cuma sistem. Yang kita permasalahkan teknis pembahasan. Seharusnya, kalau dia (Ahok) mau pakai (e-budgeting), ya sosialisasikan dulu pada kami,” katanya.
Sementara itu ratusan orang dari Forum Betawi Bersatu (FBB) melakukan aksi di depan Gedung DPRD DKI, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Massa mendukung dewan untuk memakzulkan Gubernur Ahok dari jabatannya.
Senjata Ahok Ahok menanggapi rencana penggunaan hak angket yang digulirkan DPRD DKI Jakarta atas kekisruhan Raperda APBD 2015, dengan santai, meskipun berpotensi pemakzulan dirinya. Namun begitu, dia juga tampaknya tidak tinggal diam dan telah mempersiapkan amunisi untuk menghadapi hak angket tersebut.
“Silakan saja. Kami juga akan kirim surat kepada anggota DPRD menanyakan Anda setuju pada temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selama 2 tahun, bahwa ada anggaran siluman,” ujarnya.
Ahok menyebutkan, berdasarkan laporan temuan BPKP mengenai adanya dana siluman itulah, Ahok menggunakan e-budgeting sebagai langkah antisipasi agar tidak ada lagi dana siluman, seperti kasus pejabat terdahulu.
Salah satu anggota DPRD DKI Jakarta yang terlihat cukup vokal dan getol dalam mengusung lahirnya hak angket yang menjurus pada upaya pemakzulan Ahok, adalah Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Mohammad Taufik.
Bahkan, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu menjadi anggota DPRD pertama yang menandatangani spanduk dukungan cabut mandat Gubernur DKI Jakarta, yang dibawa sekelompok masyarakat dan diletakkan di depan kantor DPRD DKI Jakaryta.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego menilai bahwa upaya pemakzulan Ahok melalui hak angket sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan Taufik yang gagal menjadi wakil gubernur, ketika Ahok naik menjadi gubernur.
Pascaditinggal Jokowi menjadi Presiden ketika itu, Ahok justru memilih Djarot Saiful, mantan Wali Kota Blitar untuk mendampinginya sebagai wakil gubernur. Ini diduga semakin menimbulkan kekecewaan Taufik dan kawan-kawannya.
Indria menilai, keluarnya Ahok dari Gerindra ketika itu sudah pasti menyakiti elite politik tersebut, karena Gerindra merasa bahwa merekalah yang membantu memperjuangkan Ahok menjadi wakil gubernur zaman Jokowi.
“Ini cerita lama ini, selama itu belum ada solusi, maka berbagai cara dilakukan untuk mendelegitimasi Ahok untuk dijatuhkan. Jadi balas dendam gitulah,” katanya.
Indria juga menyebut alasan lain yang menyangkut anggaran. Ahok sekarang lantang mempersoalkan dugaan anggaran siluman yang muncul di APBD 2015, dan mengirimkan APBD 2015 ke Kemendagri bukan hasil pembahasan dengan dewan.
“Secara politis, Ahok dianggap tidak kompromis dengan legislatif. Jadi, intinya sekarang itu yang penting bagi mereka, Ahok lengser dulu karena Ahok orangnya keras dan susah diatur,” ujarnya.
Hak angket dipicu oleh sikap Ahok yang menolak menyetujui usulan DPRD agar menyelipkan anggaran senilai Rp12,2 triliun untuk pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS), dan barang-barang lain yang belum mendesak kebutuhannya.
Ahok sendiri mengaku tak bisa menyetujui usulan DPRD. Bagi mantan Bupati Belitung Timur itu, dana sebesar Rp12,2 triliun sangatlah besar.
Menurut dia, sebaiknya dana sebear itu dialokasikan untuk membangun rumah susun sewa (rusunawa) bagi warga ibukota yang kurang mampu. Dalam perhitungan Ahok dana sebesar itu bisa digunakan untuk membuat 60 ribu unit rusunawa dengan desain yang mewah.
“Kalau kita bangun rusun satu unit pakai Rp200 juta itu sudah mewah nih. Kalau Rp2 triliun bisa bangun 10 ribu unit. Kalau Rp12 triliun kali 6 berarti 60 ribu unit. Saya ngarapin bangun 60 ribu unit buat rusun saja, duitnya nggak ada katanya,” kata Ahok.
Gubernur DKI Jakarta itu mengingatkan, saat ini masih banyak warga miskin di Jakarta yang tinggal di pinggir sungai, atau di pinggir rel kereta api. Masyarakat miskin itu rentan terserang penyakit. Jika kepada warga miskin tersebut diberikan rumah susun yang baik, tempat usaha, dan jaminan kesehatan tentu kehidupan mereka akan lebih baik.
“Sekarang mereka sewa (rumah) mahal sekali. Eh itu malah dipakai buat beli UPS nggak karuan. Saya kira orang DKI bisa menilailah,” kata Ahok.
Sayangnya, wakil rakyat di gedung DPRD DKI lebih memilih mengalokasikan dana itu untuk membeli perangkat UPS dan barang-barang lain yang belum mendesak kebutuhannya. Demi ‘proyek’ UPS itulah, Kamis (26/2) ini anggota DPRD DKI mengajukan hak angket terhadap Gubernur Ahok.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid












