Mulai rapuhnya etika penyelenggara negara membuat BPIP menggelar FGD bersama sejumlah pakar, peneliti, guru besar, tokoh agama, dan ahli etika di Jakarta. Aktual/DOK BPIP

Jakarta, aktual.com – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara” pada Selasa, 27 Agustus 2024, di Jakarta. Acara ini menghadirkan sejumlah pakar, seperti Ikrar Nusa Bhakti, Hafid Abbas, Ramlan Surbakti, Harkristuti Harkrisnowo, dan Bivitri Susanti, yang membahas tantangan dan solusi untuk memperkuat etika dalam penyelenggaraan negara.

FGD ini menyoroti bagaimana kerapuhan etika dapat merusak sistem hukum, demokrasi, dan tata kelola publik. Para narasumber menekankan pentingnya mengembalikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan cita-cita negara untuk mengatasi penyalahgunaan kekuasaan yang semakin marak.

Ikrar Nusa Bhakti, Peneliti Senior BRIN, menekankan bahwa degradasi nilai-nilai Pancasila dan etika dalam berpolitik serta mentaati hukum sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, kekuasaan yang absolut cenderung korup, sebuah adagium dari Lord Acton yang telah terbukti melalui berbagai kajian akademis.

Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, menambahkan bahwa kekuasaan dapat mengubah cara pandang seseorang secara drastis, mengubah mereka dari sosok yang rendah hati menjadi individu yang menuntut dilayani. Penyalahgunaan kekuasaan ini sering berujung pada nepotisme, kolusi, dan korupsi, yang merusak keadilan dan memperburuk demokrasi.

Bivitri Susanti, Pakar Hukum STH Jentera, menyoroti masalah serius ketika hukum dianggap lebih tinggi dari etika. Proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik sering kali dilakukan secara tertutup dan tidak transparan, menambah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menekankan bahwa etika seharusnya menjadi kompas moral bagi penyelenggara negara. Namun, realitas saat ini menunjukkan pengambilan keputusan yang sering kali melanggar prinsip-prinsip etis.

FGD ini juga mencatat penurunan kualitas demokrasi Indonesia, yang berdasarkan data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024, masuk dalam kategori “demokrasi cacat” dengan skor 6,53, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya. Martin L. Sinaga, tokoh agama dan ahli etika, menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dari oligarki dan intoleransi.

Menanggapi tantangan ini, BPIP memberikan sejumlah rekomendasi penting:

  1. Sistem Hukum:
    • Perlu dibentuk UU Lembaga Kepresidenan yang mengatur pokok-pokok beretika.
    • Proses legislasi harus transparan, inklusif, dan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas.
    • Memperkuat KPK dan MK sebagai lembaga independen.
    • Meningkatkan independensi lembaga peradilan.
    • Reformasi institusi kepolisian menjadi penegak hukum dan keadilan yang sejati.
  2. Partai Politik:
    • Kaderisasi partai harus mengedepankan etika dan moralitas.
    • Partai politik sebaiknya dibiayai negara dengan syarat memenuhi kriteria etis dan ideologi yang jelas.
  3. Pendidikan:
    • Pendidikan Pancasila harus berbasis pada hak dan nilai-nilai masyarakat, bukan hanya pengajaran normatif dan simbolis.
  4. Peran BPIP:
    • BPIP harus aktif menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya sebagai lembaga sosialisasi.
  5. Penyelenggara Negara:
    • Penyelenggara negara perlu merujuk pada TAP MPR No. VI Tahun 2001 untuk membangun tatanan etika yang kuat dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan di masa depan.

Melalui rekomendasi ini, BPIP berharap bisa memperkuat etika dan moralitas dalam penyelenggaraan negara, sekaligus memperkuat demokrasi di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano