Jakarta, Aktual.co — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diminta untuk merubah regulasi yang dianggap diskriminatif antara rumah sakit tipe A dengan tipe lain dalam menyelenggarakan cuci darah penderita gagal ginjal.
Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Toni Samosir menyebutkan BPJS hanya membiayai tabung dialesir satukalid alam sebulan dan di re-use sebanyak tujuh kali (1:7per bulan). Bila rusak sebelum satu bulan, pergantian tabung dibebankan kepada pasien. Harga tabung tersebut sebesar Rp240.000, di rumah sakit tipe C, dan setiap pemeriksaan darah harus mengeluarkan biaya.
“Pasien cuci darah harus secara periodik tes laboratorium. Harga tes terkena HIV dan Hepatitis C dan B memakan biaya sebesar Rp 900 ribu,” kata Toni, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/4).
Sementara, Sekretaris KPCDI Peter Haryanto mengatakan Rumah sakit tipe A seperti RS Ciptomangunkusumo mendapat klaim sebesar Rp2 juta per cuci darah. Sementara, rumah sakit tipe C hanya mendapat bayaran klaim BPJS sebesar Rp815.000 per cuci darah.
“Akibat dari perbedaan perlakuan tersebut pasien gagal ginjal yang melakukan cuci darah di rumah sakit tipe C atau D masih harus mengeluarkan biaya, diantaranya beberapa pengeluaran tambahan meliputi therapy erytropoitin,” kata Peter Haryanto.
Menurutnya, setiap cuci darah pasien yang HB-nya rendah, harus melakukan therapy erytropoitin, yang rata-rata biaya suntiknya memakan biaya sekitar sekitar Rp200.000. Selain itu, bisa juga pasien yang HB rendah melalui tranfusi darah.
“Transfusi darah juga tidak dicover. Padahal, transfusi darah rerata butuh 3 kantong darah, satu kantong biayanya Rp400 ribu,” ujarnya.
Kepala Grup Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Ikhsan mengatakan, pengaturan soal standar tarif diatur dalam Permenkes 59/2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. BPJS Kesehatan tidak bisa merubah regulasi tersebut terkait adanya keluhan standar tarif dari komunitas pasien cuci darah.
“BPJS tidak bisa merubah regulasi itu. Itu bukan domainnya BPJS. Itu ada di Kementerian Kesehatan.”
Artikel ini ditulis oleh: