Jakarta, Aktual.com — Pemerintah diminta untuk merevisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebelum melakukan revisi PP Jaminan hari Tua (JHT) untuk mengakomodir pencairan JHT agar bisa dilakukan oleh pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Agar ada cantolan hukum bagi PP JHT yang akan memperbolehkan pekerja yang kena PHK mencairkan JHT secara keseluruhan,” kata Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/7).

Selain itu, sambungnya, ada beberapa usulan revisi tentang isi PP JHT saat ini, yaitu pada Pasal 4 ayat 2 harus memasukkan tentang ketentuan Pekerja Penerima Upah (PPU) untuk lembaga sosial keagamaan atau yayasan. PP JHT harus patuh pada ketentuan UU Ketenagakerjaan untuk mendefinisikan siapa peserta JHT dari unsur kepesertaan penerima upah (PPU).

“Pasal 22 tentang denda 2% yang di PP dinyatakan sebagai dana jaminan sosial (DJS). Saya minta denda itu diakumulasi ke dana JHT pekerja, bukan jadi DJS. Kenapa? Karena dengan keterlambatan berarti mengurangi imbal hasil yang harusnya diterima pekerja. Nah denda tersebut harus dijadikan pengganti kerugian tersebut,” ujarnya.

Kemudian, Pasal 26 ayat 1d harus ada syarat minimal kepesertaan bagi TKA yang mau ambil JHT-nya, minimal 3 tahun. Pasal 16 tentang iuran, seharusnya iuran JHT jadi 7% dengan perincian iuran dari pemberi kerja 4% dan pekerja 3%. Selama ini iuran 5,7% relatif rendah dan tidak optimal mendukung tabung pekerja di JHT.

Ditambahkan, imbal hasil JHT harus lebih besar dari rata-rata deposito 10 bank besar, jangan hanya berpatokan pada bank pemerintah. Bila hanya mengacu pada rata-rata deposito bank pemerintah maka akan relatif kecil.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang