Jakarta, Aktual.com — Optimalisasi pemeriksaan kinerja program pemerintah dan BUMN/BUMD untuk mengukur manfaatnya kepada kemakmuran masyarakat ternyata terkendala dengan landasan hukum acuan pembangunan yakni RPJMN yang justru lebih rendah dibanding landasan hukum APBN.

“RPJMN yang acuan pembangunan lima tahun, landasan hukumnya Peraturan Presiden, namun APBN yang disusun tahunan landasan hukumnya Undang-Undang,” kata Sekretaris Jenderal BPK Hendar Ristriawan di Bogor, Selasa (13/10).

Hendar mengatakan BPK sudah mempersiapkan peningkatan porsi pemeriksaan atau audit kinerja pada 2016 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Audit atau pemeriksaan kinerja, ujarnya, justru berlandaskan RPJMN lima tahunan yang memuat tiga dimensi pembangunan yakni pembangunan manusia, pembangunan sektoral dan pembangunan antarkewilayahan.

“Tapi APBN itu UU, lebih tinggi,” ujar dia.

Perbanyak KAP Di sisi lain, menurut Hendar, BPK akan memperbanyak keterlibatan Kantor Akuntan Publik (KAP) pada 2016 untuk menggenjot audit kinerja. Pelibatan KAP ini untuk membantu tenaga auditor BPK yang jumlahnya terbatas. Padahal, entitas terperiksa BPK setiap tahunnya mencapai 600 lebih entitas baik di tataran pemerintah pusat dan daerah.

“KAP ini akan kami berdayakan, namun tetap ‘dengan atau atas nama’ BPK. Mereka akan mengaudit laporan entitas yang sekiranya opininya sudah WTP, memiliki anggaran negara relatif kecil, dan entitas yang tidak berwenang dalam kerahasian negara,” kata dia.

Dengan bantuan KAP, Hendar berharap tenaga auditor internal BPK dapat lebih banyak melakukan audit kinerja. Pada tahun ini, karena keterbatasan tenaga auditor, BPK belum melakukan audit kinerja sama sekali pada semester I 2015. Selain itu, kata Hendar, alokasi anggaran untuk audit kinerja juga akan dinaikkan setiap tahunnya.

“Diharapkan, tahun-tahun ke depannya, bisa naik 30 atau 45 persen dari total alokasi anggaran pemeriksaan, biar dapat mengukur hasil penggunaan keuangan negara,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka