Jakarta, Aktual.com – Anggota tim audit BPK pada 2006 Arief Agus mengakui ada kekurangan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sebesar Rp2 triliun saat mereka melakukan audit.

“Kekurangan Rp2 triliun ‘merefer’ ke audit sebelumnya saat dilakukan penghitungan ulang oleh tim dari kertas kerja sebelumnya. Ada penghitungan Rp25 (triliun) sekian jadi ada kekurangan, lalu BPPN melakukan penghitungan lagi oleh konsultan keuangan,” kata Arief di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (26/7).

Arief bersaksi untuk terdakwa Ketua BPPN 2002-2004 Syafruddin Arsyat Temenggung menjadi terdakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

Audit BPK 2006 adalah mengenai hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam Rangka Pemeriksaan atas Laporan Pelaksanaan Tugas BPPN.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian “Master Settlement Aqcuisition Agreement” (MSAA).

BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun “letter of credit”.

Sehingga Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) adalah sebesar Rp28,408 triliun, sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang, padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).

Artinya laporan audit BPK 2006 itu awalnya menilai JKPS BDNI adalah sekitar Rp25 triliun, namun BPK lalu mengikuti audit oleh konsultan keuangan Ernest and Young (EY) yang menyatakan bahwa jumlah JKPS BDNI sesuai MSAA yaitu Rp28,408 triliun.

“Ernest and Young (EY) melakukan ‘review’, tapi hasilnya berbeda dengan BPK, lalu kami pun ‘merefer’ hasi’ EY,” tambah Arief.

Arief mengaku bahwa saat itu ia dan teman-temannya kurang dapat berargumentasi.

“Tidak tahu persis kenapa mengikuti tapi karena ada risiko kekurangan orang dan kami tidak bisa berargumentasi sehingga meski ada hal yang belum ‘clear’ tapi ‘distate’ memenuhi kwajiban, kami mendasarkan ke kewenangan kami,” tambah Arief.

Audit dilakukan oleh BPK karena adanya permintaan Kemenkeu mengenai laporan BPPN yang sebenarnya sudah dicicil, namun belum selesai.

“Yang diperiksa untuk PKPS tujuannya menilai kinerja pelaksanaan PKPS meliputi proses penyelesaian pemegang saham kemudian memriksa atas nilai kewajiban PKPS kemudian penyerahan dan penanganan aset serta proses akhir PKPS,” jelas Arief.

Dari jumlah Rp4,8 triliun yang merupakan utang plasma dan PT DCD serta PT WM tersebut, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.

Namun, berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.

Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut, dan berkesimpulan seluruh utang “sustainable” dan “unstainable” adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.

Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan