Jakarta, Aktual.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengembalikan restitusi pajak kepada wajib pajak secara berlebihan, dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp99,5 miliar.

Kelebihan pengembalian pembayaran pajak kepada wajib pajak itu, berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2015 tersebut, merupakan kerugian terbesar kedua dari pemerintah pusat, setelah kelebihan pembayaran pekerjaan/barang sebesar Rp106,5 miliar.

Juru Bicara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) R. Yudi Ramdan dalam sesi diskusi, memaparkan secara kumulatif kerugian negara karena ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan pada IHPS I itu sebesar Rp2,2 triliun.

Kerugian negara sebesar Rp2,2 triliun tersebut berasal dari lemahnya akuntabilitas keuangan di pemerintah pusat sebesar Rp544 miliar, pemerintah daerah dan BUMD sebesar Rp1,55 triliun, dan BUMN dan badan lain sebesar Rp157,7 miliar.

Menurut Yudi, kerugian negara tersebut, jika ditambah dengan potensi kerugian negara dan kekurangan penerimaan negara pada IHPS I 2015, jumlahnya sebesar Rp21,6 triliun.

“Itu berasal dari 4.609 masalah yang berdampak pada pemulihan keuangan atau dampak finansial,” ujarnya, Selasa (13/10).

Selain temuan kerugian, BPK juga menyatakan kekurangan penerimaan dari sektor pajak ditimbulkan karena kekurangan penetapan penerimaan pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pertambangan mineral dan batu bara sebesar Rp248,8 miliar.

Kemudian, ada juga kekurangan penerimaan akibat belum ditagihnya sanksi administrasi bunga dan denda senilai Rp3,14 triliun.

Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan BPK memberikan waktu kepada entitas atau objek terperiksa untuk menindaklanjuti temuan BPK. Salah satu tindaklanjut itu, entitas atau objek terperiksa perlu menyelesaikan masalah kerugian negara dan mengembalikan kekurangan penerimaan ke kas negara.

Sekretaris Jenderal Forum Internasional Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto menyoroti kelebihan pembayaran restitusi pajak yang justeru kontradiktif dengan komitmen Direktorat Jenderal Pajak untuk menggenjot penerimaan pajak kepada negara.

“Ini perlu dilihat kembali dan ditinjau sistem untuk restitusi ini,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka