Jakarta, Aktual.com – Berdasar Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2016, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyorot kinerja PT PLN (Persero) yang masih amburadul.
Tak hanya PLN Pusat, PLN Distribusi Jakarya Raya (Disjaya) juga tak luput dari pemeriksaan BPK ini. Apalagi banyak permasalahan di PLN yang justru sampai saat ini belum terselesaikan.
Menurut Ketua BPK, Harry Azhar Azis, berdasar hasil pemeriksaan atas pengelolaan subsidi atau Kewajiban Pelayanan Publik (KPP), BPK menemukan permasalahan yang perlu mendapat perhatian.
“Di antaranya, adalah kelebihan pembayaran subsidi tahun 2012-2014 senilai Rp6,26 triliun atas penyajian kembali laporan keuangan PLN tahun 2012-2014,” ungkap Harry saat Sidang Paripurna DPR, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (4/10).
Penyajian kembali LK PLN ini, kata Harry, sebagai akibat penghentian penerapan kebijakan akuntansi terkait perjanjian pembelian tenaga listrik swasta yang mengandung sewa dan sudah diatur dalam Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8.
Langkah BPK ini sebagai bentuk dari pemeririksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas pengelolaan subsidi pada 11 objek audit di sembilan BUMN termasuk PLN, dan dua Perusahaan Umum (Perum).
“BPK berhasil mengungkap koreksi subsidi negatif senilai Rp2,68 triliun dan koreksi positif senilai Rp168,98 miliar,” jelas dia.
Dengan demikian, lanjut Harry, BPK telah membantu menghemat pengeluaran negara senilai Rp2,51 triliun karena jumlah subsidi/KPP tahun 2015yang harus dibayar pemerintah menjadi lebih kecil dari Rp163,8 triliun menjadi Rp161,29 triliun.
Permasalahan lainnya adalah, kata Harry, terkait penetapan harga jual eceran solar bersubsidi telah meningkatkan beban subsidi pemerintah sebesar Rp3,19 triliun yang dinikmati badan usaha, tetapi membebani konsumen.
Selain itu, BPK juga melakukan audit atas efektivitas pengendalian susut energi listrik pada PLN Disjaya. Hasil auditnya menunjukkan, pelaksanaan kegiatan pengendalian susut energi listrik di PLN Disjaya kurang efektif.
Hal ini terjadi karena dua permaslahan, pertama, panjang jaringan tidak sesuai ketentuan, feeder express berbeban dan beban trafo tinggi meningjatkan risiko susut distribusi.
“Kedua, perencanaan perbaikan dan pemeliharaan jaringan distribusi belum memprioritaskan pada jaringan yang sering mengalami gangguan dan penyebab gangguan yang dominan serta tidak menggunakan data hasil inspeksi,” papar dia.
Selanjutnya, tandas Harry, kinerja PLN yang tak sesuai standar akuntansi juga telah menyebabkan opini Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015 tetap mendaoat wajar dengan pengecualian (WDP).
“Menurut BPK masih terdapat penyertaan modal negara (PMN) pada PLN sebesar Rp848,38 triliun yang mengandung ketidakpastian,” ujarnya.
Menurut Harry, ketidakpastian itu sehubungan dengan tidak diterapkannya kebijakan akuntansi terkait perjanjian pembelian tenaga listrik swasta yang mengandung sewa seperti yang diatur dalam ISAK 8 pada Laporan Keuangan PLN.
“Total PMN yang diterima PLN itu dihitiung selama puluhan tahun hingga 2015 dan totalnya mencapai Rp848,38 triliun,” tegas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan