Suasana sepi terlihat di Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (3/8). Suasana sepi ini disebabkan Aksi Mogok kerja ratusan Pekerja PT Jakarta International Countainer Terminal (JICT). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Indonesia Port Watch (IPW) Syaiful Hasan menyebutkan, dukungan Menteri BUMN Rini Soemarno terhadap perpanjangan kontrak PT JICT sangat disayangkan. Padahal sebelumnya Rini mengakui perpanjangan kontrak tersebut dilakukan tanpa izinnya atau RUPS Menteri.

Anehnya lagi, kata Syaiful, alasan Rini mendukung, karena perpanjangan kontrak JICT sangat menguntungkan semua pihak. Padahal kerugian negara dari kurangnya uang muka perpanjangan kontrak itu berdasar hasil audit investigatif BPK RI mencapai sedikitnya Rp4,08 triliun.

Apalagi kemudian, kata dia, ada lagi soal penambahan uang muka perpanjangan kontrak JICT sebesar US$15 juta tanpa ada perubahan termin komersil yang sudah disepakati PT Pelindo II (Persero) dengan Hutchison.

“Tapi, penambahan itu untuk apa? Anehnya, jawaban CEO Hutchison Indonesia Rianti Ang, mengatakan, ‘untuk memenuhi permintaan Ibu Menteri BUMN’. Ini menjadi indikasi jelas keterlibatan yang bersangkutan (Rini Soemarno) dalam proses perpanjangan kontrak ilegal itu,” tutur dia, di Jakarta, Jumat (11/8).

Lebih jauh, kata dia, pernyataan Rini soal target pesangon 10 tahun pekerja JICT yang melakukan mogok, menjadi pertanyaan tersendiri. Kenapa selevel Menteri BUMN mengurusi sampai teknis anak perusahaan? Bukankah masih ada Deputi, Asisten Deputi, Komisaris, Direktur Induk Perusahaan dan Direktur Teknis Pembinaan Anak Usaha?

“Tapi di sisi lain, mengapa Rini malah tidak tegas soal indikasi pelanggaran-pelanggaran GCG dan tindakan kontraproduktif Direksi Pelindo II yang membiarkan Direksi anak perusahaannya?,” tegas dia.

Padagak menurut dia, Direksi JICT baik perwakilan dari Hutchison maupun Pelindo II bersama para komisaris seolah berkolaborasi melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif dan melanggar aturan serta GCG perusahaan.

Salah satunya terkait mogok kerja selama 5 hari pekerja JICT yang dibiarkan dengan kerugian perusahaan dan pengguna jasa mencapai ratusan miliar rupiah.

Bahkan, dia menwgaskan, ada juga ancaman stagnasi perekonomian nasional dan kelambatan pelayanan akibat tidak handalnya produktivitas pelabuhan yang mendapat limpahan akibat mogok pekerja JICT itu.

Dan yang paling mengherankan, soal surat-surat peringatan 1 dan 2 yang dikeluarkan Direksi walau mogok kerja sendiri sudah dihentikan.

“Semua ini seolah menjadi pembiaran yang dilakukan secara sistematis,” kecamnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan