Arsip Foto - Dokter memeriksa penderita penyakit tuberkulosis (TBC) di Rumah Sakit Paru-paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/Arif Firmansyah/YU)

Jakarta, Aktual.com – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan tuberkulosis merupakan salah satu penyakit kuno yang menular lewat udara dan Indonesia menjadi penyumbang kedua kasus tuberkulosis terbesar di dunia setelah India.

Kepala Organisasi Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN Indi Dharmayanti mengatakan integrasi penanganan dan deteksi genomik perlu dilakukan agar Indonesia terbebas dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis tersebut.

“BRIN terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menghasilkan riset yang tepat guna dan sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya dalam sebuah webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa (14/11).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, angka prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar 4,2 per 1.000 penduduk. Prevalensi itu lebih tinggi dari target yang hanya dapat satu orang per 1.000 penduduk.

Indi menuturkan permasalahan tuberkulosis harus menjadi perhatian serius dan kerja sama lintas sektor dalam penanganan penyakit tersebut.

Menurutnya, langkah pencegahan dan pengendalian tuberkulosis perlu terus diperkuat seperti penyakit menular lainnya. Kegiatan pengendalian dilaksanakan melalui modifikasi dari berbagai aspek yang berkaitan, yaitu dari penderita, penyebab, dan lingkungan.

“Sekarang ini kita menghadapi multiborden penyakit tuberkulosis, penyakit ini tidak hanya menjadi penyebab kesakitan dan kematian tetapi juga menjadi ancaman atau komorbid bagi penderita penyakit tidak menular maupun mengancam ke penderita penyakit menular lainnya,” ungkap Indi.

Beberapa penyakit yang berhubungan dengan keparahan penyakit tuberkulosis adalah tuberkulosis dengan HIV, tuberkulosis dengan diabetes melitus, dan akibat pengobatan tuberkulosis menjadi komorbid dengan penyakit hepatitis.

Selain itu, tuberkulosis menjadi resiko terjadinya gangguan jiwa pada penderita tuberkulosis yang mengalami pengobatan jangka panjang terutama pada penderita tuberkulosis resisten berbagai obat serta efek samping obat yang menyebabkan terjadinya hepatitis.

“Tuberkulosis memerlukan upaya kita bersama dalam pencegahan dan pengendaliannya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat mulai dari upaya pencegahan, vaksinasi, deteksi dini, dan pengobatan,” kata Indi.

Dia mengatakan, dengan tantangan pengendalian tuberkulosis yang masih besar perlu diketahui kendala dan peluang dalam penanganan penyakit tersebut. “Hal ini agar upaya pengendalian tuberkulosis di masa depan menjadi lebih efektif dan efisien dalam menurunkan beban tuberkulosis,” imbuhnya.

Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN Wahyu Pudji Nugraheni mengatakan pencegahan tuberkulosis memiliki peran yang sama penting dengan pengobatan penyakit menular tersebut.

Pada tingkat fasilitas kesehatan, pencegahan penyebaran tuberkulosis dapat diupayakan melalui tindakan pengendalian infeksi. Pada level masyarakat, tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan dan kesehatan pernafasan.

“Menutup mulut dan hidung saat batuk atau bersin, menggunakan masker ketika berada di tempat ramai dan berinteraksi dengan penderita tuberkulosis, dan tidak meludah sembarangan dapat mencegah penyebaran droplet yang mengandung bakteri tuberkulosis,” kata Wahyu.

Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa individu berisiko tinggi yang melakukan kontak langsung dengan pasien tuberkulosis atau bekerja di fasilitas layanan kesehatan harus menjalani pemeriksaan secara rutin.

Bayi dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) dapat membantu mencegah infeksi tuberkulosis pada usia dini.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan