Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Indonesian Resourcess Studies (IRESS), Marwan Batubara mengusulkan agar Pemerintah segera merencanakan untuk melakukan pembenahan pengelolaan energi lewat holding (penggabungan unit usaha, red).
Menurutnya, hal itu didorong oleh beberapa alasan. Pertama, pemerintah harus membentuk holding yang bersih dan berwibawa.
Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya fokus membenahi lembaga sektor migas yang secara fakta telah benar-benar terendus dan terjerat kasus hukum. Lembaga tersebut yakni, SKK Migas yang mengacu kepada maraknya kasus yang menerpa.
“Termasuk di antaranya suap yang menimpa mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini,” kata Marwan dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, ditulis Minggu (28/6).
Ia kembali menuturkan, yang kedua yaitu karena produksi crude oil Indonesia yang saat ini terus mengalami degradasi dan segera membutuhkan efisiensi pengelolaan.
Terlebih lagi, memasuki 2020 mendatang, dimana Marwan memperkirakan lifting minyak Indonesia hanya tinggal 500.000 barel per hari (bopd).
“Bayangkan, dengan jumlah produksi siap jual tinggal 500 ribu barel, kita tidak lagi membutuhkan banyak pengelola migas. Cukup menjadikan Pertamina selaku holding, lalu SKK Migas masuk ke dalam strukturnya, maka efisiensi berjalan, fokus pengelolaan migas akan semakin baik,” ujarnya.
Marwan meyakini jika tenaga-tenaga SKK Migas yang terampil di bidang migas dapat bergabung ke dalam struktur Pertamina. SKK Migas dapat diberi porsi mengurus kontraktor asing.
Sementara itu, pada tataran kebijakan dan pengendalian, porsinya diserahkan kembali kepada Kementerian ESDM.
Di sisi lain, pasca pembubaran BP Migas yang berganti bernama SKK Migas, entitas lembaga tersebut belum merepresentasikan ketentuan konstitusi.
“MK mengamanatkan agar SKK Migas merupakan bagian dari perusahaan ‘pelat merah’ yang mengatur kegiatan hulu migas. Namun kenyataannya, entitias lembaga ini justru cenderung berpotensi merugikan negara. Pasalnya, hubungan kontraktual yang dilakukan bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau operator migas nasional langsung ke negara melalui pengawasan dari Kementerian ESDM,” ungkapnya.
“Hubungan yang bersifat business to business itu, tidak boleh diatur negara karena menimbulkan intervensi dan cenderung berpeluang terjadinya praktik korupsi,” imbuh Marwan.
Artikel ini ditulis oleh: