Setidaknya terdapat beberapa alasan mendasar yang menjadi dasar pengharaman sound horeg menurut KH. Muhib dan Prof. Niam. Pertama, sound horeg telah identik sebagai sya’ru al-fussāq (syiar orang-orang fasiq), yakni simbolisasi perilaku yang cenderung keluar dari norma keagamaan. Kedua, acara ini mengundang khalayak untuk berjoget secara massal, yang dalam banyak kasus mengarah pada hilangnya batas-batas kesopanan. Ketiga, kegiatan ini nyaris tak terhindarkan dari percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa kontrol yang jelas, membuka celah pada pelanggaran norma sosial dan agama.

Selain itu, sound horeg juga menimbulkan dampak-dampak nyata di lapangan: gangguan pendengaran, kemacetan lalu lintas, hingga perusakan fasilitas umum. Dalam sejumlah kasus, peserta iring-iringan merusak pagar atau jalan demi memberi ruang bagi truk yang mengangkut sound system besar, tanpa mempertimbangkan hak dan kenyamanan masyarakat sekitar.

Dalam perspektif fikih, kaidah adh-dharar yuzāl (bahaya itu mesti dihilangkan) menjadi pijakan penting dalam menetapkan hukum atas fenomena semacam ini. Kaidah ini bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh menimbulkan kerusakan dan tidak boleh membalas kerusakan.” (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah SAW juga bersabda:

مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Barang siapa menimbulkan kerusakan, maka Allah akan membalasnya dengan kerusakan; dan siapa yang menyulitkan (orang lain), maka Allah akan menyulitkannya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Syekh Musthafa al-Zuhaily menafsirkan bahwa ḍarar adalah segala bentuk tindakan yang menimbulkan kemudaratan terhadap orang lain, sementara ḍirār adalah membalas kerusakan dengan kerusakan serupa. Keduanya dilarang secara tegas dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh bentuk larangan “lā” ( nafiyah lil-jins) yang bersifat menyeluruh dan mengandung makna penegasan kuat.

Melalui pendekatan ini, menjadi jelas bahwa sound horeg tidak hanya problematik dari sisi teknis dan sosial, tapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam tentang etika sosial dan tanggung jawab kolektif.

Hiburan dalam Agama Islam

Namun demikian, penting untuk ditegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang anti terhadap hiburan atau ekspresi kebudayaan. Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW justru memberi ruang bagi seni, syair, permainan, bahkan nyanyian, selama hal itu tidak melanggar batas-batas syar’i. Islam memandang kegembiraan sebagai bagian dari kebutuhan manusia, asalkan tidak melalaikan dari kewajiban, merusak akhlak, atau menimbulkan mafsadah (kerusakan) bagi individu dan masyarakat. Di sinilah letak keseimbangan yang ditawarkan ajaran Islam: membolehkan hiburan sebagai sarana rekreasi ruhani dan sosial, tetapi dengan panduan nilai-nilai etika dan spiritualitas.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain