Islam bukanlah agama yang menutup pintu bagi kegembiraan dan hiburan. Justru dalam sejarahnya, berbagai bentuk hiburan telah mendapat ruang selama tidak melanggar prinsip-prinsip etika dan spiritual. Salah satu contoh yang sangat masyhur adalah ketika Rasulullah Saw tiba di kota Madinah. Beliau disambut oleh para wanita dan anak-anak Anshar dengan penuh kegembiraan melalui nyanyian dan syair:

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا … مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ

وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا … مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعٍ

(“Telah hadir Rasulullah Saw yang laksana bulan purnama kepada kita, dari arah Tsaniyah al-Wada`. Kita wajib bersyukur, selama pendoa berdoa kepada Allah.”)

Syair tersebut tidak hanya menjadi simbol kerinduan dan penghormatan kepada Rasulullah Saw, tetapi juga menunjukkan bahwa mengekspresikan kegembiraan melalui nyanyian adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan terpuji, selama berada dalam koridor nilai-nilai Islam.

Namun berbeda halnya dengan fenomena sound horeg yang saat ini marak terjadi, khususnya di wilayah Jawa Timur. Meskipun sekilas tampak sebagai bentuk ekspresi budaya dan hiburan kolektif, kegiatan ini mengandung sejumlah unsur yang berseberangan dengan etika Islam dan justru menimbulkan potensi mafsadah (kerusakan). Di antara faktor yang menyebabkan keharamannya adalah sebagai berikut:

  1. Bersentuhan dengan Lawan Jenis

Dalam praktik sound horeg, peserta laki-laki dan perempuan sering kali bercampur baur tanpa batasan yang jelas. Kondisi ini menyebabkan interaksi fisik—termasuk bersentuhan antar lawan jenis yang bukan mahram—hampir tak dapat dihindari. Padahal, dalam Islam, menyentuh bagian tubuh lawan jenis yang bukan mahram tanpa penghalang hukumnya haram.

Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan:

وَحَيْثُ حَرُمَ نَظَرُهُ حَرُمَ مَسُّهُ بِلَا حَائِلٍ، لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي اللَّذَّةِ

“Dan ketika haram dilihat (anggota tubuh seseorang yang bukan mahram) maka haram juga untuk disentuh tanpa penghalang, karena kenikmatan yang ditimbulkan oleh sentuhan melebihi kenikmatan pandangan.” (Fathul Mu’in, hlm. 447)

  1. Wanita Membuka Aurat

Fenomena lain yang sering terlihat adalah perempuan yang berpakaian terbuka di ruang publik, terutama saat berjoget mengikuti irama musik. Padahal dalam Islam, selain perempuan diperintahkan menutup aurat, laki-laki juga diperintahkan menjaga pandangan.

Kitab Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah mencatat ijmak ulama dalam hal ini:

اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ نَظَرُ الرَّجُلِ إِلَى عَوْرَةِ المَرْأَةِ الأَجْنَبِيَّةِ الشَّابِّ

“Ulama telah sepakat tentang keharaman seorang pria melihat aurat wanita muda yang bukan mahram.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 41, hlm. 341)

Keharaman ini bukan tanpa alasan, tetapi untuk menutup pintu-pintu fitnah dan mencegah umat dari perbuatan yang mengarah pada zina dan kerusakan moral.

  1. Biduan yang Menggoda

Dalam sejumlah pentas sound horeg, tidak jarang pula ditampilkan para penyanyi atau biduan yang membangkitkan syahwat, baik lewat gaya bicara maupun gerakan tubuhnya. Islam memandang tindakan ini sebagai bentuk fitnah, yakni sesuatu yang berpotensi menggelincirkan seseorang dalam dosa.

Syekh Sulaiman Al-Jamal mengutip dari Syarh al-Raudh karya Syekh Zakaria Al-Anshari:

وأمّا النَّظَرُ والإِصْغَاءُ لِصَوْتِهَا عِندَ خَوْفِ الفِتْنَةِ، أَيْ: الدَّاعِي إِلَى جِمَاعٍ أَوْ خَلْوَةٍ أَوْ نَحْوِهِمَا فَحَرَامٌ

“Adapun melihat (bagian dari wanita) atau mendengar suaranya ketika dikhawatirkan menimbulkan fitnah—seperti dorongan untuk bersetubuh atau berkhalwat—maka hukumnya haram.” (Futuhat al-Wahhab, Jilid IV, hlm. 121)

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa Islam memberikan ruang bagi hiburan, bahkan menganjurkannya dalam bentuk yang positif dan membangun. Namun, ketika sebuah bentuk hiburan mengandung unsur fitnah, mengganggu ketertiban umum, serta melanggar batasan syar’i, maka ia tak lagi menjadi sarana kegembiraan yang terpuji, melainkan berubah menjadi sumber kerusakan.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain