Fenomena sound horeg menuntut kita untuk kembali menimbang: apakah ini benar-benar warisan budaya yang patut dilestarikan, atau sekadar euforia sesaat yang menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai luhur agama dan budaya?
Hiburan Positif dalam Bingkai Budaya Jawa Timur
Di tengah maraknya hiburan yang kian menjauh dari etika dan nilai-nilai spiritual, masyarakat perlu kembali menengok khazanah budaya lokal yang telah lama menjadi bagian dari identitas dan jiwa masyarakat Jawa Timur. Tanpa harus membungkam semangat berekspresi generasi muda, ada banyak bentuk hiburan tradisional yang tetap mampu memantik kegembiraan, membangun solidaritas, sekaligus menjunjung tinggi adab dan kesopanan.
Salah satu bentuk hiburan yang paling akrab di lingkungan masyarakat pesantren dan kampung-kampung Nahdliyyin adalah hadrah dan shalawatan. Grup rebana atau banjari yang membawakan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad Saw seperti Simthud Durar, Qasidah Burdah, atau lagu-lagu shalawat kontemporer telah lama menjadi bagian dari acara keagamaan, khitanan, haul, hingga pesta pernikahan. Dentuman rebana dan irama yang rancak tetap bisa menggugah semangat dan menghibur khalayak, tanpa harus mengorbankan ketenangan atau etika pergaulan.
Tak kalah penting adalah tradisi syukuran seperti ruwatan desa, dan festival tumpeng yang masih dijumpai di berbagai daerah Jawa Timur. Tradisi ini, meski berakar pada keyakinan agraris masyarakat lama, dapat diberi sentuhan Islami melalui pembacaan tahlil, doa bersama, dan pentas seni santri. Alih-alih mengusung kebisingan dan kerusakan, ia justru menanamkan rasa syukur, kebersamaan, dan penghormatan kepada alam.
Bentuk-bentuk hiburan alternatif ini bukan hanya mewarisi estetika lokal, tapi juga mengajarkan nilai-nilai penting: keseimbangan antara kegembiraan dan kesantunan, antara ekspresi dan pengendalian diri. Generasi muda tentu tidak harus meninggalkan kreativitasnya—tetapi mereka perlu diarahkan agar kreativitas itu menyatu dengan akar budaya dan akhlak Islami.
Dengan menghidupkan kembali tradisi-tradisi ini dan memodifikasinya secara kontekstual, masyarakat Jawa Timur sejatinya memiliki bekal yang cukup untuk menawarkan hiburan alternatif yang lebih sehat—baik secara sosial, budaya, maupun spiritual.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain
















