Jakarta, Aktual.com — Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Muradi menilai, langkah Kejaksaan Agung mengorek kasus pembelian hak atas piutang (cessie), dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dilakukan PT Victoria Securities Indonesia pada tahun 2003 sengaja mengorek luka lama.
Pasalnya, munurut Muradi kasus yang disaat ini disasar Kejagung perkara yang hampir 15 tahun, sehingga Kejagung dalam hal ini hanya mengorek-ngorek luka lama. “Kalau mau dilihatkan kasus yang didepan mata saja, untuk apa kemudian kasus yang hampir 15 tahun dibuka kembali. Apakah ada dampak dengan perekonomian sekarang?,” kata Muradi ketika berbincang dengan Aktual.com, Jumat (28/8).
Muradi pun meminta, agar Kejagung lebih jeli dalam menangani kasus, terutama pada perkara yang saat ini ditangani oleh lembaga Korps Adhiyaksa itu. “Korupsi itu ada dua keterkaitan yakni ekonomi dan politik. Nah, jika ada urgnesinya terutama soal menyangkut ekonomi sekarang, ada tidak?”
Dia pun mengatakan, jika kedua keterkaitan itu tak ada pada saat ini, maka dia pun mempertanyakan langkah Kejagung dalam menangani kasus tersebut. “Ini jelas hanya membuat kegaduhan politik saja,” kata dia.
Dalam penelusuran dokumen diketahui kronologis pebelian aset beruapa tanah seluas 1.200 hektar di Karawang, Jawa Barat. Bermula dari hutang Adyaesta Group (AG) pada Bank Tabungan Negara (BTN) pada September 1995. Pinjaman tersebut diperuntukkan untuk proyek perumahan Karawang I dan II.
Namun pada perjalanannya proyek tersebut terhenti lantaran krisis ekonomi. BTN menjadi salah satu bank yang masuk sebagai pasien BPPN. Pada tahun 2002 pemerintahan Megawati menggelar lelang hak tagih atas hutang AG sebesar Rp 266.400.195.000. Lelang tersebut diikuti oleh tiga pihak yakni PT First Capital, Harita Kencana Secutities dan VSIC. Lelang tersebut dimenagkan oleh PT First Capital dengan penawaran Rp 69,5 miliar.
Setelah memenangkan lelang PT First Capital membatalkan pembelian. Alasanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGU) No 1/Karanganyar seluas 300 hektar yang dijadikan jaminan hanya berupa fotocopy. Pasca pembatalan pembelian tersebut VSIC kembali melakukan penawaran tanggal 20 Agustus 2003.
Melalui surat notifikasi BPPN Nomor Prog-7207/BPPN/0903, tanggal 1 September 2003 VSIC diumumkan sebagai pemenang. Sepekan setelah diumumkan pihak VSIC langsung membayar kewajiban jual-beli dengan obyek hak tagih terhadap AG dengan nilai Rp 32 miliar. Perjanjian tersebut ditandatangani dalam Perjanjian Pengalihan Piutang No 57 didepan notaris Eliwaty Tjitra SH tanggal 17 November 2003.
Pembelian aset inilah yang kemudian dijadikan dasar Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Randahnya nilai jual pengalihan piutang dinilai merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Padahal jika merunut kebijakan pemerintahan Presiden Megawati kala itu memang memberikan diskon besar-besaran kepada siapa saja yang mau membeli aset dari obligor bermasalah.
Setidaknya ada sekitar 3.000-4.000 dengan status lengkap data kepemilikanya . Aset bermasalah itu diperkirakan berjumlah 2.400-3.400 aset. Total nilai aset saat ini mencapai ratusan triliun. Kondisi inilah yang membuat pasar tidak merespon positif lelang yang dilakukan BPPN. Sampai akhirnya muncullan ide untuk memberikan diskon.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu