Jakarta, Aktual.com — Komisi VIII DPR RI menilai aneh keluarnya Perppu Kebiri dari pemerintah. Pasalnya, perppu dikeluarkan karena ada turunan undang-undang diatasnya.
Menurutnya, yang ada pemerintah mengeluarkan perppu perlindungan anak sebagai turunan dari UU 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Lagipula, DPR sudah memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dalam prolegnas 2015/2016. Jangan sampai, kata dia, RUU PKS ini beda sama kebiri.
“Setiap ada perppu mesti ada UU yang diganti. Kita belum punya UU kebiri. Kok perppu kebiri. Sampai hari ini jujur saya belum pernah terima naskah itu,” ujar Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay, dalam diskusi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/5).
Namun disamping soal perppu, seharusnya jaksa penuntut lebih progresif dalam memberikan sanksi terhadap 12 dari 14 pelaku pemerkosa Yuyun, dengan menggunakan pasal berlapis karena bukan hanya memerkosa namun mereka juga membunuh.
Saleh mengaku tak sepakat dengan adanya hukuman kebiri. Pasalnya, biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak. Apalagi, jika dokter melakukan kebiri maka akan menyalahi prinsip kedokteran yang seharusnya menyembuhkan, namun malah melumpuhkan.
“Kalau kebiri, sekali suntik Rp750 ribu per tiga bulan. Misal, hukuman lima tahun jadi Rp20 juta. Kalau testisnya yang dipotong Rp40-Rp80 juta. Prinsip hukum enggak boleh menyiksa, hukum mati saja enggak boleh disiksa. Berapa biaya yang dikeluarkan?” katanya.
Untuk itu, ia menyarankan pemberatan hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Sebab, jika korban tidak meninggal maka akan dirugikan seumur hidupnya.
Ia juga menyarankan agar hukum berpatok pada hukum islam yang tak berdasar pada umur melainkan waktu pelaku baligh.
“Saya usul hukuman ditambah lagi yaitu dengan denda. Sekali ekseskusi Rp100 juta. Kalau lakukan lagi (pemerkosaan) tambah lagi Rp100 juta. Korban ini tersiksa seumur hidup karena juga jadi korban masyarakat,” pungkas Politisi PAN itu.
Artikel ini ditulis oleh: