Sejumlah warga berorasi saat aksi menolak penggusuran di kawasan RT08/08 Jalan Lauser, Jakarta, Senin (9/5). Aksi penolakan tersebut digelar terkait rencana pelayangan surat peringatan kedua penggusuran kawasan tersebut yang akan dijadikan ruang terbuka hijau. ANTARA FOTO/Teresia May/16

Jakarta, Aktual.com – Pemprov DKI semakin memperlihatkan arogansinya menjalankan kebijakan bagi warganya. Hukum tidak lagi didengar atau diabaikan. Kenyataan itu benar-benar terjadi dalam kasus proyek normalisasi Kali Ciliwung di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Warga yang tinggal di bantaran dipaksa untuk pindah (relokasi).

Surat Perintah kedua (SP 2) dilayangkan Satpol PP Pemerintah Kota Jakarta Selatan Rabu (7/9) pagi tadi ke warga. Bukti telak betapa Pemprov DKI begitu abai terhadap hukum. Baca: SP Dua Datang Pagi Ini, Bukit Duri Semakin Terancam

Bagaimana tidak, proses gugatan warga lewat class action atas proyek normalisasi dan ancaman penggusuran masih berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Bahkan di persidangan yang ke delapan hari Selasa (6/9) lalu, Hakim Riyono yang memimpin sidang secara khusus mengeluarkan peringatan ke Pemprov DKI agar menghentikan sementara normalisasi Ciliwung dan kegiatan terkait lainnya (termasuk penggusuran pemukiman warga Bukit Duri) selama proses persidangan berlangsung.

“Pemprov DKI menahan diri dulu, ini sudah diproses secara hukum, jangan main kekuasaan,” begitu Hakim Riyono menyampaikan kepada kuasa hukum tergugat (Pemprov DKI) di persidangan, Selasa lalu. Baca: Ahok Diminta Hentikan Normalisasi Ciliwung, Hakim: Jangan Main Kekuasaan!

Kenyataannya, peringatan Hakim Riyono seperti dianggap angin lalu saja. Di SP 2 ini, warga Bukit Duri di RW 09, 010, 011, 012 diultimatum agar dalam waktu tiga hari ke depan harus sudah membongkar bangunan tempat tinggalnya. Jika tidak, bakal dibongkar paksa oleh tim dari Pemkot Jaksel.

Ucapan Hakim Riyono yang menyebut peringatan hanya sebatas moral tetapi lebih tinggi dari hukum pun jadi terdengar asing, jika melihat sepak terjang Pemprov DKI dalam penggusuran di Jakarta.

Artikel ini ditulis oleh: