Jakarta,aktual.com – Kementerian Pertanian dan Bulog diminta tidak hanya menyerap hasil panen komoditas pangan dalam negeri, namun juga holtikultura. Para petani semestinya tidak lagi terbebani distribusi dan harga seperti halnya persoalan cabai yang mengemuka dari aksi demonstrasi petani di Desa Jeruk Gulung Kecamatan Dempet, Demak, Jawa Tengah.
“Pemerintah harusnya bisa (menyerap). Peran Bulog yang harus dilihat dan dimaksimalkan, bukan hanya kepada beras, tapi juga komoditas lainnya, misalnya produk holtikultura yang dinilai strategis,” ujar Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, melalui siaran persnya di Jakarta, Senin (14/1).
Menurutnya, kepastian daya serap pemerintah atas komoditas holtikultura sangat penting, karena tingkat fluktuatif harganya sangat tinggi. “Persoalan anjloknya harga, tanaman holtikultura lebih tinggi dibanding tanaman pangan,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah bisa memberikan pelatihan untuk mengatur pola tanam atau tidak terjadi over produksi, yang menyebabkan jatuhnya harga. “Harusnya kalau memang cabai di Demak ini dilihat menjadi sebagai komoditas strategis, pemerintah juga bisa dilakukan penetapan harga pembelian, seperti beras dan komoditas lainnya,” kata Agus.
Terkait hal ini, Anggota Komisi IV Darori Wonodipuro menjelaskan aksi pembuangan cabai ke jalan oleh Petani Demak ini dikarenakan mereka mengalami kerugian besar. Sebab, harga cabai setempat dari Rp20.000 hingga Rp7.000 per kilo. “Kenapa begini harus diperiksa,” kata Darori.
Oleh karena itu, Darori meminta Satuan Tugas (Satgas) Pangan Mabes Polri untuk menyelidiki penyebab anjloknya harga cabai di daerah itu.
“Pengalaman saya beberapa waktu lalu, harga cabai Rp20 ribu, terus cabai ditahan tidak masuk ke pasar induk. Harganya jadi Rp40 ribu. Tapi beli ke petani di bawah Rp20 ribu. Ternyata ada permainan,” jelasnya.
Darori menceritakan, hal serupa pernah terjadi ketika panen kentang di Dieng, Jawa Tengah yang berimbas petani merugi. “Saat itu saya telepon Menteri Pertanian. Katanya tidak ada impor. Saya selidiki ternyata ditemukan kentang dari Cina dan Pakistan. Informasi yang saya dapat katanya bibit kentang. Tapi kentang tujuh kontainer,” jelasnya.
Mestinya, kata dia, Kementan memberikan subsidi kepada para petani agar tak mengalami kerugian saat harga komoditas ini anjlok. “Tapi sudah tidak berlaku. Pemerintah tak menganggarkan subsidi ini,” tambahnya.
Sedangkan Kementan menganggap kejadian pembuangan cabai yang terjadi di Demak hanyalah dampak dari fenomena harian. Saat ini masalah tersebut pun dianggap sudah selesai dan petani sudah menikmati harga cabai di kisaran Rp18 per kilogram. “Kemarin yang harganya yang bagus itu sudah Rp18 ribu. Sudah senang semua. Barang sudah selesai, jangan heboh,” tukas Dirjen Hortikultura Kementan, Suwandi, kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/1).
Menurutnya, masalah harga cabai yang merosot jauh mesti dilihat dari kualitas cabai tersebut. “Cabai itu ada grade-nya. Ada grade A, grade B, grade C. Harga itu normal Rp12-13 ribu. Kalau grade C ya jangan cerita. Cabai itu kan jenisnya banyak,” ujarnya.
Suwandi mengklaim, dalam dua tahun terakhir masalah harga cabai yang over fluktuatif sudah selesai. Tidak seperti tahun 2015—2016 di mana memang harga cabai sangat bergejolak. Kementan mengaku sudah melakukan berbagai strategi. Mulai dari menyiapkan benih unggul, mengatur pola tanam, sampai ke pengolahan ketika stok berlebih di bulan-bulan tertentu.
“Walaupun kita sudah mengatur supaya pasokan tiap bulan itu flat dengan pola tanam, tapi kan namanya iklim kan ada juga yang namanya hujan, kemarau, kering,” tuturnya.
Seperti diketahui, Pada Oktober 2018 lalu cabai menjadi salah satu komoditas yang mengalami inflasi tertinggi. Memasuki awal tahun 2019, justru harga cabai mendadak jatuh hingga berujung pada fenomena buang-buang cabai di jalan oleh petani di Demak. Sementara itu berdasarkan pemantauan di Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga cabai di tingkat eceran masih menunjukkan tren penurunan. Rata-rata tiap jenis cabai, harganya turun Rp100—1.450 per kilogram.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin