Sumber Foto : Istimewa Ladang migas di Indonesia.
Sumber Foto : Istimewa Ladang migas di Indonesia.

Jakarta, Aktual com – Penyerahaan lapangan migas Blok B kepada PT Pembangunan Aceh (PT Pema) yang merupakan BUMD Aceh, mulai menimbulkan spekulasi di ruang publik.

Penyerahan itu telah berlangsung sesuai surat persetujuan pengelolaan dan Penetapan Bentuk Ketentuan Ketentuan Pokok Kontrak Kerja Sama Pada Wilayah B oleh Menteri ESDM Nomor 76.k/HK.02/MEN.M/2021. Meski demikian, perlu menyikapinya dengan hati-hati.

Jangan sampai penyerahaan ini awalnya dianggap merupakan berkah besar bagai rakyat Aceh, namun jika salah kelola, malah bisa menjadi bencana bagi rakyat dan Pemda Aceh di kemudian hari.

Demikian pernyataan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman kepada media, Kamis (29/4/2021).

“Contohnya sudah banyak, terbaru kasus Dirut PT Mahakam Gerbang Raja Migas Kaltim berinisial IR, adalah sebagai pemegang hak Participating Interest 10% dari operasi blok Mahakam harus berada di balik teralis besi akibat dugaan korupsi,” ungkap Yusri.

Tak hanya itu, lanjut Yusri, akan menyusul proses hukum, yakni terhadap pemegang hak participating interest untuk lapangan minyak blok Jatinegara oleh Pemkot Bekasi telah dilaporkan ke KPK sejak Oktober 2020, yaitu KSO BUMD Pemkot Bekasi dengan mitranya Foster Oil & Energy Pte Ltd.

“Termasuk, saham Perusda BUMD PT DMB (Daerah Maju Bersaing) milik Pemrov NTB di dalam PT Newmont Nusa Tenggara, yang memiliki 7% saham hasil divestasi. Infonya sahamnya tergadaikan oleh investornya sebagai mitra BUMD. Sehingga timbul pertanyaan apa belum kapok juga?,” tandas Yusri.

Jadi, kata Yusri, harus diketahui blok B ini bekas wilayah operasi Exxon Mobil yang pada 1 Oktober 2015 telah diambil alih oleh Pertamina Hulu Energi. Proses take over ini pun sempat memancing kontroversial saat itu, artinya aneh langkah Pertamina buang duit di sini untuk mengambil blok yang produksinya juga sudah turun banyak dan kontraknya juga akan berakhir PSC-nya.

“Bahkan, kami dari CERI waktu itu sekitar November 2015 sudah pernah membuat surat kepada kepala SKK Migas ketika masih dijabat Amin Sunaryadi, yaitu mempertanyakan dana temuan LHP BPK senilai sekitar USD250 juta yang merupakan dana pemulihan sumur paska operasi atau dikenal dengan Abandonment and Site Restoration. Dana tersebut sudah terlanjur dibayarkan oleh negara lewat mekanisme cost recovery kepada Exxon Mobil tapi belum digunakan, namun belum dikembalikan lagi ke negara,” beber Yusri.

Sehingga, kata Yusri, jika blok B sudah beralih dari Pertamina Hulu Energi ke PT PEMA, maka seharusnya dana USD250 juta itu diserahkan kepada PT PEMA oleh negara.

“Jangan sampai perusahaan migas Aceh ketiban kerak busuk yang bermasalah merupakan warisan operator sebelumnnya,” ungkapnya.

Selain itu, kata Yusri, harus dipahami dalam mengelola lapangan migas yang padat teknologi, padat modal serta padat resiko, sehingga upaya mencari mitra untuk mengurangi resiko itu adalah sebuah kelaziman terhadap proses bisnis di dunia perminyakan.

Pengalaman beberapa blok Migas yang dikelola oleh BUMD menunjukan kinerja buruk, jangankan mampu meningkatkan produksi, mempertahankan tidak turun saja sudah bagus, karena BUMD lemah di cash call dari setiap aktifitas di migas yang padat modal, tak mungkin mengambil dari APBD, sebagai contoh nyata liatlah kinerja PT Bumi Siak Pusako yang mengelola blok Coastal Plain Pekanbaru.

“Namun, PT PEMA harus melakukan proses itu melalui lelang terbuka dan transparan serta akuntabel, sehingga pernyataan Zubir Sahim sebagai Direktur PT PEMA akan mengajak PT Energ Mega Persada, sebaiknya diurungkan jika tidak dipilih melalui proses tender. Karena ujungnya bisa berujung tersangkut pidana korupsi di kemudian hari,” kata Yusri.

Oleh sebab itu, tegas Yusri, BPMA harus segera mencegah apa yang akan dilakukan oleh Zubir Sahim untuk menunjuk PT Energi Mega Persada yang berada di bawah naungan Bakrie Group. “Kecuali dia memang kebal hukum,” tutup Yusri.