Dua pejalan kaki melintasi papan sosialisasi pembayaran pajak secara online di Jakarta, Selasa (1/3). Direktorat Jenderal Pajak membuat peta zona potensial pajak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.360,1 triliun pada 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Widya Kartika mengatakan kasus Paradise Papers bukan hal yang baru dan tidak mengherankan, sebelumnya juga beberapa data yang disinyalir sebagai pengemplang pajak, seperti Panama Papers dan lainnya pernah terungkap.

Namun sayangnya tidak ada upaya progresif dari pemerintah untuk memperbaiki dari sisi pendataan maupun penindakan, sehingga data yang sama dan nama-nama asal Indonesia kembali muncul.

“Ini bukan hal baru, dan selalu saja terdapat nama dari Indonesia. Jadi perlu keseriusan dari pemerintah untuk berbenah sistem perpajakan,” kata dia di Jakarta, Sabtu (11/11).

Menurut Widya kebanyakan nama-nama yang disebut mempunyai sektor bisnis yang bergerak pada eksploitasi sumber daya alam, sehingga kerugian negara Indonesia sangat berlipat ganda, utamanya pada kerusakan lingkungan dan penerimaan negara.

Dari aspek keadilan, hal itu mesti dikejar oleh pemerintah. Jika kasus tersebut dibiarkan berlalu begitu saja, imbasnya akan melukai perasaan masyarakat.

Perlu dipahami tegas dia, pemerintah menaikkan cukai rokok untuk pendapatan negara, padahal sebagaian besar konsumen rokok adalah masyrakat kecil. Dengan demikian akan menjadi pertanyaan bahwa pemerintah menguber pajak rakyat kecik dan meloloskan potensi penerimaan dari pengemplang pajak.

“Tentu negara merugi, jadi Paradise Papers harus diusut supaya memberi keadilan. Di komponen pajak, penyumbang terbesar adalah pajak penghasilan dan dipungut dari rakyat kecil, perokok itu sebagian besar konsumsinya masyarakat miskin dan dikenakan cukai yang tinggi. Jadi aneh kalau pemerintah diam terhadap Paradise Papers,” pungkas dia.

(Reporter: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka