Jakarta, Aktual.com – Gerakan Buruh Indonesia (GBI) serta Tim Advokasi Buruh dan Rakyat (Tabur) mempertanyakan dijadikannya polisi sebagai saksi di persidangan kriminalisasi 26 aktivis dalam aksi unjuk rasa. Anggota polisi itu dihadirkan sebagai saksi untuk Jaksa Penuntut Umum.
Juru bicara GBI, Michael menilai kesaksian polisi di persidangan jelas penuh konflik kepentingan. “Memperkuat dugaan kriminalisasi dan penuh rekayasa,” tuding dia, dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin (9/5).
Kesaksian polisi dianggap tidak akan objektif. Mengingat di Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, menyebutkan Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan.
Dengan prinsip ‘korsa’ kepolisian, ujar dia, tentu saja kesaksian dari polisi akan membela rekan-rekannya sendiri. “Polisi akan bersaksi berdasarkan surat tugas atasannya, bukan fakta yang ia ketahui, tapi mewakili institusi,” ujar pengacara TABUR dari LBH Jakarta, Maruli Rajagukguk.
Terlebih, lanjut Maruli, dalam perkara kriminalisasi ini, pihak yang melaporkan para buruh, berasal dari kepolisian yaitu Kapolres Jakarta Pusat Hendro Pandowo, untuk itu, Tabur dan GBI mengusulkan para saksi untuk tidak usah disumpah. “Dengan begitu, martabat pengadilan tetap terjaga sebagai tempat para pencari keadilan,” ujar Maruli.
Menurut GBI dan Tabur, kepolisian justru pihak yang seharusnya mendapat hukuman dalam pembubaran aksi 30 Oktober 2015 lalu tersebut, sebab kepolisian melakukan pembubaran paksa disertai tindak kekerasan dalam aksi menolak kebijakan pasar bebas ekonomi Joko Widodo tersebut tanpa alasan jelas.
Dari informasi yang dihimpun, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kepolisian pada sidang pada hari Senin (9/5) untuk memberi kesaksian pada perkara dua pengacara LBH (Tigor dan Obed) serta satu mahasiswa Hasyim Ilyas dan akan menjelaskan tentang pembubaran aksi unjuk rasa 30 Oktober 2015.
Kepolisian Daerah Metro Jaya membubarkan paksa aksi damai itu dengan kekerasan. Para peserta, pengawal, hingga perangkat aksi menjadi sasaran kekerasan aparat. Setelah pembubaran itu, kepolisian menjadikan 23 buruh, dua pengacara LBH Jakarta, dan satu mahasiswa tersangka pasal karena melawan perintah pejabat (216 dan 218 KUHP).
Dalam persidangan sebelumnya Majelis Hakim mengeluarkan putusan sela pada pokoknya menolak eksepsi dua pengacara LBH Jakarta dan satu mahasiswa serta kuasa hukum.
“Kami kecewa atas putusan sela tersebut, pasalnya putusan sela tersebut menegaskan tidak profesionalnya jaksa penuntut umum dan penyidikan yang sarat dengan kriminalisasi, meskipun demikian Tim Tabur menghormati keputusan majelis hakim tersebut,” tutur Maruli.
Selain itu, sebanyak 23 buruh akan mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas sanggahan atau eksepsi. Jaksa seharusnya membacakan tanggapan itu di persidangan sebelumnya, namun, Jaksa mengaku belum mampu menyelesaikan tugas tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara