Jakarta, Aktual.com — Tanda-tanda kejatuhan ekonomi nasional di tangan pemerintahan Jokowi-JK mulai makin dekat. Sepertinya jalan untuk menuju perbaikan ekonomi nasional di akhir tahun ini tidak akan terjadi dan cenderung akan semakin tidak terkendali. Kredit macet bakal terjadi diberbagai sektor seperti sektor manufaktur, konstruksi dan kredit konsumen.
Berdasarkan Laporan PMI Manufaktur Indonesia versi Nikkei/Markit Economics terkini menggarisbawahi situasi kontraksi yang telah berlangsung selama sebelas bulan berturut-turut mengakibatkan Perusahaan-perusahaan memangkas produksi dan mengurangi jumlah tenaga kerja seiring merosotnya pesanan baru. Pesanan bisnis dari luar negeri, khususnya negara Asia lain, tercatat masih terus melemah. Meski begitu, nampak bahwa laju kemerosotan pesanan baru maupun output produksi telah melambat, demikian pula dengan laju pemecatan tenaga kerja.
“Kurs mata uang Rupiah yang melemah telah gagal mengangkat permintaan ekspor dari luar negeri, justru meningkatkan biaya impor barang modal mengakibatkan tekanan inflasi tertinggi dalam tahun ini,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono di Jakarta, Selasa (15/9).
Meskipun demikian, lemahnya permintaan (domestik dan luar negeri) menghalangi perusahaan-perusahaan untuk mengoper sepenuhnya peningkatan biaya-biaya produksi (kepada konsumen) sehingga inflasi melambat pada bulan Agustus.2015
Laporan PMI Manufaktur Markit/Nikkei juga mengungkap kondisi dimana biaya produksi masih terus tinggi akibat depresiasi Rupiah, tetapi para produsen tidak bisa mengoper kenaikan biaya ke konsumen akibat lemahnya permintaan domestik dan luar negeri. Kondisi tersebut secara tidak langsung dikonfirmasi oleh data inflasi Agustus yang malah melambat, yaitu selip dari 7.26 persen menjadi 7.18 persen (yoy), atau dari 0.93 persen menjadi 0.39 persen (MoM).
Selaras dengan laporan Inflasi dari BPS yang juga baru dirilis beberapa jam yang lalu. Menurut BPS, dalam bulan Agustus telah terjadi inflasi sebesar 0.39 persen (MoM), lebih rendah dibanding inflasi Juli yang sebesar 0.93 persen dan menunjukkan tekanan inflasi terendah dalam empat bulan terakhir. Kenaikan harga terutama terjadi pada kelompok bahan makanan; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; serta kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar.
Secara year-on-year, laju inflasi juga selip dari 7.26 persen menjadi 7.18 persen. Sedangkan angka inflasi inti yang mengecualikan harga barang-barang bervolatilitas tinggi meningkat tipis dari 4.86 persen menjadi 4.92 persen dalam bulan Agustus. Akan tetapi angka itu masih lebih rendah ketimbang rekor inflasi inti bulanan sepanjang semester pertama tahun ini.
“Turunnya tingkat inflasi pada bulan Agustus bukan karena kinerja ekonomi yang membaik, tetapi karena daya beli masyarakat yang Makin menurun akibat maraknya pemecatan buruh/pekerja,” jelasnya.
Daya beli yang memburuk, lanjutnya, berdampak pada pendapatan buruh untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. Buruh terpaksa menggunakan dana pesangon atau simpanan yang ada atau menjual Aset yang cepat laku itupun jika sset tersebut sudah lunas dari kredit.
Fenomena tersebut merupakan konfirmasi pertama dari kekhawatiran mengenai indikasi kalau perlambatan laju inflasi merupakan efek samping dari memburuknya sektor ketenagakerjaan.
“Di satu sisi, upah riil rendah akibat kenaikan gaji tahun ini yang diiringi dengan naiknya harga-harga barang konsumsi, bahan bakar, dan listrik. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan cenderung melakukan efisiensi dengan memecat karyawan karena biaya produksi meningkat setelah depresiasi rupiah terjadi ketika permintaan domestik dan luar negeri merosot,” paparnya.
Rendahnya upah riil dan pemecatan karyawan membuat pasar tenaga kerja makin longgar dan daya beli masyarakat makin rendah, sehingga perusahaan-perusahaan makin tidak bisa menaikkan harga di tingkat konsumen. Pada akhirnya ini berpotensi menjadi lingkaran setan dimana laju inflasi tertahan tetapi banyak orang gagal mendapatkan pekerjaan.
“Kami akan menunggu konfirmasi berikutnya dari data PMI dan inflasi yang akan dirilis pada awal Oktober untuk mengetahui apakah situasi ini hanya berlangsung sementara ataukah berpotensi menjadi penyakit jangka panjang bagi negeri ini. Ditandai dengan collapse perbankan akibat kredit disektor manufacturing, komsumsi, kredit konstruksi macet,” jelasnya.
Kebijakan National Interest Account untuk mendukung peningkatan eksport juga tidak mempan karena banyak negara yang juga mengurangi eksport dari Indonesia.
“Justru National Interest account akan banyak menimbulkan ekspor fiktif seperti eksport produksi mebel fiktif. Yang siap-siap bobol adalah Lembaga Penjamin Eksport Indonesia. Jika tidak ada perubahan yang signifikan umtuk menghindari ancaman PHK massal bagi buruh maka tidak tertutup kemungkinan terjadi krisis ekonomi yang berlanjut ke krisis politik Dengan dijatuhkannya Jokowi- JK Oleh Rakyat akibat krisis Ekonomi,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka