Jakarta, Aktual.com — Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengatakan penerimaan gratifikasi merupakan embrio dari persekongkolan lebih besar seperti suap dan korupsi sehingga perlu dilakukan pencegahan secara intensif.

“Embrio dari suap itu adalah gratifikasi,” kata Busyro dalam acara diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Gratifikasi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (8/7).

Menurut Busyro, sepanjang dirinya menjabat sebagai salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian besar pejabat pemerintahan yang berurusan dengan komisi antirasuah rata-rata terjebak kasus suap. Hal itu tidak disadari karena terbiasa dengan penerimaan gratifikasi yang dianggap wajar.

Menurut Busyro, penerimaan gratifikasi dapat dicegah oleh masing-masing pejabat pemerintah, dengan menerapkan prinsip bahwa segala sesuatu pemberian dari pihak lain yang berkaitan dengan pekerjaannya adalah gratifikasi, kendati tidak ada ungkapan secara langsung yang mengaitkan dengan pekerjaan itu.

“Karena jika kita tidak menjabat dalam jabatan tertentu, mana ada orang memberi sesuatu itu pada kita,” kata dia.

Selain itu, menurut dia, apabila muncul kebiasaan penerimaan gratifikasi di lingkungan pegawai pemerintahan, maka akan cukup potensial memperlemah kinerja. Sebab, kebiasaan penerimaan gratifikasi akan menjadi ketergantungan untuk terus menerus menerima.

“Karena terbiasa diberi, lama-lama mengharap. Kalau tidak ada (gratifikasi) maka kinerjanya akan melemah,” kata dia.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril mengatakan gratifikasi merupakan alat yang sering digunakan oleh sesorang untuk menjerat aparatur pemerintahan terjebak dalam beban utang budi yang memunculkan konflik kepentingan untuk mengeluarkan kebijakan tertentu.

“Sehingga kandati tidak secara langsung berkaitan, namun akan menjadi invenstasi jangka panjang bagi seseorang yang memberikannya,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby