Jakarta, Aktual.co — Pendiri Medco Group Arifin Panigoro mengatakan bahwa krisis energi bukan lagi ilusi. Pasalnya, listrik yang sering padam di beberapa daerah, besaran total impor minyak yang menguras kas negara, akan makin berat buat Indonesia jika tidak mampu mencukupi kebutuhan energi nasional.
Menurutnya, kebutuhan energi di Indonesia dalam prognosa akan tumbuh berlipat ganda seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam publikasi Price Waterhouse Cooper (PWC) Indonesia diramalkan akan menjadi negara dengan gross domestic product (GDP) terbesar kelima di dunia pada 2030.
“Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Indonesia perlu pasokan energi yang cukup. Artinya, kalau di dalam negeri tidak ada ya harus impor. Apa mau kita hidup bergantung pada pasokan energi dari luar negeri,” ujar Arifin dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, (15/3).
Lebih lanjut dikatakan, kebutuhan energi nasional saat ini mencapai 4,5 juta barrel setara minyak per hari. Jumlah ini akan meningkat jadi 7,7 juta barrel setara minyak per hari pada tahun 2025. Padahal kemampuan produksi minyak nasional di bawah 800 ribu barrel per hari. Kemampuan ini terus menurun hingga 453 ribu barrel per hari dalam sepuluh tahun mendatang seiring dengan merosotnya oil lifting nasional.
“Kondisi ini akan makin memburuk karena cadangan minyak Indonesia tinggal 3,7 miliar barrel yang akan habis dalam waktu sebelas tahun mendatang. Ini wake up call bagi semua pihak, dari Presiden, Menteri, kalangan usaha hingga generasi muda bahwa Indonesia dalam krisis energi,” tegasnya.
Menurut pendiri Medco ini, sebenarnya Indonesia memiliki anugerah alam untuk menjawab krisis energi tersebut, yakni melalui pengembangan “energi terbarukan berbasis nabati seperti green diesel dari kelapa sawit.”
“Indonesia adalah jawara produsen crude palm oil (CPO) atau minyak sawit yang mencapai 30 juta ton per tahun. Jumlah produksi CPO ini bisa ditingkatkan dengan pengembangan lahan-lahan kritis di tanah air sebagai kebun energi berbasis kelapa sawit. Kini ada sekitar 82 juta hektar lahan kritis dalam studi Bappenas. Kita perlu setidaknya 10 juta hektar di antaranya untuk pengembangan green diesel berbasis kelapa sawit,” pungkasnya.
Pengembangan lahan kritis sebagai kebun energi ini mesti diikuti oleh dukungan kebijakan atau affirmative policy dari pemerintah. Baik dari sisi regulasi terkait konversi lahan kritis tersebut, pelibatan generasi muda sebagai leader dalam kebun energi, dukungan akses keuangan (financial inclusion), hingga off-taker dari produksi green diesel oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina atau PLN.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka














