Jakarta, Aktual.com — Cadangan devisa (cadev) yang berada di Bank Indonesia (BI) di awal tahun ini terus mengalami penurunan berarti. Padahal, tantangan perekonomian kedepan kian berat. Ini menjadi sinyal posisi cadev mulai mengkhawatirkan.
Hingga akhir Januari 2016, cadev hanya berada di posisi US$102,1 miliar. Padahal di akhir Desember 2015 mencapai US$105,9 miliar. Jadi selama sebulan cadev sudah tergerus US$3,8 mikiar.
“Dengan cadev demikian agak mengkhawatirkan. Apalagi, kebutuhan pemerintah kita untuk membiayai utang terus melonjak dan kebutuhan impor juga melonjak,” sebut ekonom dari Indef, Enny Srihartati di Jakarta, Sabtu (13/2).
Dengan angka cadev seperti itu, kata dia, cukup berat untuk menghadapi tantangan di 2016 ini. Apalagi, saat ini ekonomi dunia sedang mengalami ketidakpastian dan ada tren berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi di China yang tentu berdampak pada pasar ekspor Indonesia.
Namun sayangnya, BI sendiri selalu mengklaim bahwa nominal cadev di angka itu masih dalam ketegori aman. Alasan BI, mengacu pada standar kecukupan pembiayaan, cadev masih bisa membiayai 7,2-7,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Enny menyayangkan sikap BI itu. Padahal, di saat kondisi ekonomi yang masih melambat seperti saat ini, serta kewajiban beban utang juga meningkat, apalagi populasi penduduk juga akan naik terus, tentu harus menjadi perhatian serius BI.
“Maka BI tidak bisa menyamakan besaran cadev dalam kondisi normal dengan kondisi sekarang. Sekarang relatif mengkhawatirkan,” tandasnya.
Bahkan posisi cadev saat ini jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya juga cukup mengkhawatirkan. “Dilihat dari persentasinya terhadap GDP itu masih kecil. Sama Malaysia saja (cadev) kita kalah persentasinya,” ucap dia.
Berdasar data Juni 2015, ketika cadev BI saat itu berada di angka US$108 miliar, persentasi terhadap PDB hanya 13%. Padahal idealnya harus 30% dari PDB atau sekitar US$200 miliar.
Dengan angka tersebut, waktu itu cadev BI masih kalah dari Thailand (40% terhadap PDB), Malaysia (33%), atau Filipina (29%).
Enny juga mempertanyakan, penurunan cadev per akhir Januari 2016 itu tidak sejalan dengan pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani yang kerap meyebutkan mulai maraknya investasi asing masuk. Padahal jika ada dana segar dari investasi asing akan mendongkrak cadev.
“Jangan-jangan yang disebut Kepala BKPM itu baru persetujuan investasi yang dimasukkan ke cadev bukan realisasi. Karena kalau realisasi investasi pasti berdampak ke cadev. Kalau dibilang investasi banyak tapi cadev tidak naik, berarti memang belum realisasi,” kritik Enny.
Sebagaimana diketahui, penurunan cadev dari US$105,9 miliar menjadi US$102,1 miliar untuk pemenuhan kebutuhan devisa, seperti pembayaran utang luar negeri pemerintah, termasuk pembayaran pokok dan bunga global bond yang jatuh tempo.
Artikel ini ditulis oleh: