Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Periode 2018-2022, Sunanto atau yang akrab disapa Cak Nanto, menilai langkah pembentukan tim reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia merupakan upaya positif untuk memperkuat kepercayaan publik. Dalam pandangannya, langkah ini bukan sekadar soal siapa yang melakukannya, tetapi bagaimana keinginan untuk memperbaiki sistem bisa diiringi dengan keterbukaan informasi dan kemauan mendengar dari berbagai pihak.
Dalam podcast yang disiarkan kanal YouTube Aktual Forum, Cak Nanto mengatakan bahwa persoalan reformasi bukan terletak pada nama timnya, melainkan pada semangat untuk melakukan perbaikan yang nyata. Menurutnya, kecepatan dan kemampuan polisi dalam mendengar aspirasi publik menjadi kunci penting dalam proses reformasi.
“Sebenarnya itu bukan soal namanya. Bukan soal siapa yang melakukannya. Tapi bagaimana punya keinginan yang,” ujarnya.
Ia menjelaskan, selama ini ada keterbatasan fleksibilitas karena mayoritas struktur kepolisian diisi oleh anggota internal. Padahal, dengan melibatkan unsur masyarakat atau tokoh independen dalam komite reformasi, prosesnya bisa berjalan lebih mendalam dan terbuka.
“Kalau misalnya ada komite yang dibuat oleh presiden, ada tokoh, ada masyarakat, maka fleksibilitasnya bisa benar secara mendalam,” kata Cak Nanto.
Ia menambahkan bahwa dari situ presiden tinggal memerintahkan Kapolri agar tim reformasi segera menyusun kebijakan yang mampu meningkatkan kembali kepercayaan publik terhadap Polri. Cak Nanto menilai, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian sempat menurun akibat adanya gesekan internal dan perilaku reaktif di lapangan. Namun, dengan adanya tim reformasi, arah pembenahan bisa lebih terukur dan konstruktif.
Ia menegaskan, langkah ini tidak perlu dilihat sebagai bentuk benturan antar lembaga, melainkan sinergi antara pemerintah, kepolisian, dan masyarakat. “Jadi memang itu bersinergi ya? Harusnya begitu, karena ini sudah sama-sama begini,” ucapnya.
Menanggapi anggapan bahwa reformasi di kepolisian ibarat seseorang mencukur rambutnya sendiri, Cak Nanto berpendapat hal itu tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, tim reformasi Polri justru berfungsi menampung masukan dari luar dan menjadi wadah refleksi internal untuk memperbaiki kinerja.
Cak Nanto juga mengingatkan agar publik tidak terjebak pada isu-isu yang membenturkan antara dua lembaga, melainkan fokus pada tujuan utama, yaitu memperkuat reformasi Polri. “Jangan sampai publik tergerus oleh isu tentang dua lembaga, tapi lupa substansi yang ingin dicapai. Sebenarnya apa yang ingin dicapai? Reformasi Polri? Atau komite dan tim yang lebih kuat?” katanya.
Ia menilai, komitmen presisi yang dibangun oleh Polri sudah berada di jalur yang benar, meski pelaksanaannya masih memerlukan waktu dan konsistensi. Budaya organisasi, menurutnya, tidak bisa berubah seketika, melainkan butuh proses yang berkelanjutan. “Budaya itu tidak bisa langsung diciptakan, bisa aja langsung dirombak terus berubah, tapi namanya akan, bisa tunggu kapan saja untuk membasmi masih ada riak-riaknya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Cak Nanto menjelaskan bahwa keberadaan komite atau tim reformasi bukanlah lembaga yang berada di atas kepolisian. Ia menegaskan bahwa fungsi utamanya adalah memperkuat sistem yang sudah berjalan dan memberikan rekomendasi agar penegakan disiplin dan pemberian sanksi bisa lebih konsisten.
Menurutnya, mekanisme evaluasi dan penegakan sanksi di tubuh Polri harus diperkuat agar anggota memiliki motivasi dan kesadaran untuk memperbaiki kinerja. “Karena polisi pasti takut kalau tidak naik jabatan,” ujarnya menutup pembicaraan dengan nada ringan.
Bagi Cak Nanto, langkah pembentukan tim reformasi Polri merupakan momentum penting untuk memperkuat kepercayaan masyarakat. Ia berharap sinergi antara kepolisian, pemerintah, dan masyarakat dapat terus diperkuat agar visi reformasi berjalan sesuai harapan dan dapat membawa Polri menjadi institusi yang semakin profesional, transparan, dan humanis.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















